Minggu, 27 Oktober 2013

Rizal Ramli Pelopori AntiKorupsi di Kadin


Jakarta, [RR1online]:
KESERIUSAN Rizal Ramli selaku Ketua Umum Kadin untuk menjadikan Kadin sebagai organisasi yang berwibawa, kuat, rapi, dan bersih mulai ditunjukkannya dalam Munas VII Kadin. Yakni, dilakukannya penandatanganan Pakta Integritas Anti-Korupsi (PIAK) di hadapan Ketua KPK Abraham Samad . Penandatangan PIAK itu sendiri dilakukan oleh Ketua Umum Kadin Rizal Ramli, Ketua Dewan Pertimbangan Kadin Oesman Sapta Odang, dan Ketua Dewan Penasehat Kadin Setiawan Djody.

Ada tiga butir yang tertuang dalam PIAK yang dibacakan langsung Rizal Ramli secara tegas pada Munas VII Kadin Indonesia, di  Hotel Manhattan, Jakarta, Selasa (22/10), yakni:
1. Kadin Indonesia menyatakan, akan mempelopori gerakan antikorupsi bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kalangan dunia usaha,
2. Kadin Indonesia akan membangun masyarakat Indonesia yang bersih dari korupsi bersama KPK,
3. Kadin Indonesia akan membangun masyarakat Indonesia yang sejahtera, maju, dan mandiri untuk Indonesia yang lebih baik.

Tentu saja, yang dilakukan oleh Rizal Ramli dkk di tubuh Kadin itu adalah sebuah babak-baru agar Indonesia dapat benar-benar bersih, lalu mampu memperbaiki dan menata kondisi ekonomi Indonesia yang saat ini sedang mengalami babak-belur. Dan sebagai mantan Menko Perekonomian sekaligus selaku Ekonom Senior, Rizal Ramli diyakini mampu  untuk melakukan hal tersebut.

Tak salah jika Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) menunjuk Rizal Ramli sebagai Capres yang paling ideal 2014. Sebab, dalam hal ini saja, Rizal Ramli nampaknya memang sangat menyadari betul, bahwa korupsi tingkat tinggi saat ini yang paling banyak dilakoni oleh para pejabat tinggi itu juga banyak melibatkan pengusaha. Misalnya, melalui lobi-lobi proyek, dari sejak digodok di DPR hingga pada penentuan pemenang tendernya, itu sangatlah sarat dengan persekongkolan untuk mendapatkan keuntungan berlipat-lipat. Lalu muncullah KORUPSI melalui suap-menyuap.

Selama ini, kita memang sudah sangat mengetahui adanya sebuah “budaya” yang sering dilakukan oleh para pejabat dengan pengusaha, yakni suap-menyuap untuk mendapatkan proyek. “Budaya” inilah yang kiranya ingin dihentikan oleh Rizal Ramli selaku Ketua Umum Kadin agar terjadi pemerataan kesejahteraan di dunia usaha secara profesional, bukan karena adanya hubungan garis kekeluargaan atau kekerabatan yang pada akhirnya hanya memunculkan dinasti kekuasaan.

“Jika tidak dihentikan (korupsi) saat ini, maka jangan harap negara ini menjadi sejahtera. Korupsi dilakukan karena hidup koruptornya tamak, serakah dan hidupnya sudah mewah, Tapi ternyata masih saja korupsi,” ujar Abraham Samad sebagai pembicara dalam Munas Kadin VII, di Jakarta, Selasa (22/10) tersebut. Seperti dikutip baratamedia.

Abraham menegaskan agar para pengusaha dapat memberikan dukungannya dalam upaya pemberantasan korupsi yang sangat marak seperti saat ini, yakni dengan meninggalkan praktik suap. “Harus dihindari oleh pengusaha-pengusaha yang ada di Kadin. Hindari praktik suap,” kata Abraham Samad.

Sementara itu, Rizal Ramli menegaskan, tingginya harga kebutuhan pangan adalah buah dari kebijakan ekonomi, khususnya perdagangan yang keliru. Dipertahankannya sistem kuota impor telah melahirkan kelompok-kelompok kartel yang merugikan bangsa dan rakyat Indonesia. Pada saat yang sama, kartel-kartel ini mendikte harga untuk memperoleh keuntungan sangat besar, yang sebagian mereka gunakan untuk menyogok pejabat-pejabat korup.

Menurut Rizal Ramli, Kadin-lah yang seharusnya melobi pemerintah, agar sistem kartel yang hanya menguntungkan segelintir pemain besar segera dihapuskan. Saat ini, katanya, rakyat kita membayar harga daging sapi, gula, dan kedelai 100 persen lebih mahal dibandingkan harga di pasar internasional. “Saya yakin, kalau sistem kartel dihapuskan, harga berbagai bahan pangan itu bisa turun hingga 80 persen. Lagi pula, dengan dihapuskannya sistem kartel, maka pengusaha di daerah juga bisa mengimpor gula, kedelai, daging sapi dan lainnya. Tentu saja, mereka juga harus membayar tarif yang wajar sehingga tidak merugikan petani,” ujar Rizal Ramli, disambut gemuruh tepuk tangan peserta Munas.

Dikatakannya, Kadin seharusnya berfungsi sebagai kekuatan yang mendorong dilahirkannya kebijakan-kebijakan di bidang ekonomi. “Jangan lagi Kadin hanya menjadi alat para pengurusnya untuk memperoleh proyek seperti selama ini. Ketua dan pengurus Kadin harus benar-benar bekerja untuk seluruh anggotanya. Jangan cuma bangga ditenteng-tenteng presiden atau menteri ke berbagai acara ini-itu, sementara secara substansial justru sama sekali tidak berperan,” ujar Rizal Ramli yang kembali disambut sorak tepuk tangan peserta Munas.

Sehubungan dengan itu, Rizal Ramli mengajak seluruh pengusaha untuk menjadikan Munas VII Kadin kali ini sebagai momentum kebangkitan pengusaha. Langkah itu diawali dengan menjadikan Kadin sebagai wadah pengusaha yang berwibawa dan disegani. Jangan lagi menjadikan Kadin hanya semata-mata sebagai alat untuk memperoleh proyek-proyek dari pemerintah.

“Sebagai pengusaha, boleh saaja dan memang sudah seharusnya berbisnis, termasuk mencari proyek. Tapi itu silakan secara individu, bukan organisasi. Kadin harus mampu mendorong dilahirkannya kebijakan-kebijakan untuk membangun Indonesia yang lebih baik,” kata Rizal Ramli.

Dalam kesempatan tersebut, Rizal Ramli juga mengaku prihatin melihat rendahnya standar etika para pejabat publik di negeri ini. “Di luar negeri, pejabat yang baru terindikasi korupsi saja sudah mengundurkan diri. Di Indonesia, bukan saja mereka tidak mundur dari jabatannya, tapi juga masih tidak punya malu tampil di depan publik. Bahkan ada pejabat yang masih bicara soal good gevernance walau sudah jadi tersangka,” kata Rizal Ramli.

Sementara itu, Ketua Dewan Pengarah Munas Nur Achmad Affandi mengungkapkan, Munas kali ini dihadiri 27 Kadinda provisini dan 25 asosiasi sebagai Anggota Luar Biasa (ALB). Dengan demikian Munas kali ini sudah jauh melampaui kuorum yang dibutuhkan. Sedangkan agenda Munas adalah merumuskan kebijakan sebagai rekomendasi, menyusun program umum, dan memilih Ketua umum dan formatur.>map/ams

Jumat, 18 Oktober 2013

Berhasil “Menipu” Publik, SBY Justru yang Pembohong?

Jakarta, [RR1online]:
MESKI
sejumlah pihak sudah banyak yang mencoba mengungkap jatidiri Bunda Putri. Namun sejauh ini, belum ada kejelasan tentang sosok yang diduga punya kedekatan khusus dengan Presiden SBY itu.

Di benak publik saat ini menempatkan Bunda Putri sebagai sosok hebat. Yakni, bisa mengetahui rencana reshuffle kabinet, bisa bagi-bagi proyek yang bernilai anggaran tinggi, dan terakhir bisa “menyuruh” SBY untuk memvonis Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) 1000%…2000% sebagai pembohong. Hebat, bukan?!

Konferensi Pers (konpers) yang mendadak digelar oleh SBY pekan lalu itu, adalah karena SBY merasa dirugikan dengan kesaksian LHI. Tetapi, menurut saya, konpers itu seakan disengaja sebagai kesempatan buat SBY agar perhatian publik benar-benar mengarah kepada sosok Bunda Putri saja (jangan yang lain). Sampai-sampai SBY berjanji untuk mengungkap jatidiri Bunda Putri.

Di saat yang hampir bersamaan, bermunculanlah banyak informasi, terutama dari media massa di dunia maya. Namun semuanya masih belum jelas secara pasti. Ada yang menduga Bunda Putri adalah istri salah seorang pejabat tinggi di Kementerian Pertanian, ada juga informasi yang disertai foto-foto yang diduga Bunda Putri dengan menyebut Bunda Putri adalah sebetulnya berinisial SS (istri PDR, pensiunan perwira tinggi Polri). Dan boleh jadi ada juga yang menduga, bahwa Bunda Putri adalah “istri pertama” SBY. Sehingga publik pun jadi penasaran.

Rasa penasaran publik ini pun makin bertambah ketika SBY dalam konpers tersebut berjanji akan mengungkap jatidiri Bunda Putri. Dan dipastikan publik pun menantikan janji SBY tersebut.

Tetapi sungguh mengesalkan, seperti yang dilansir kompas.com, Presiden SBY melalui juru bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha menyampaikan bahwa pihak Istana tidak akan mengungkap identitas Bunda Putri ke publik. Informasi tentang Bunda Putri dari hasil kerja intelijen hanya ditujukan sebagai konsumsi internal pihak Istana.

Tentu saja, sikap istana untuk TIDAK mengungkap sosok Bunda Putri ke publik itu dinilai tak berbanding lurus dengan nada amarah dan sikap keras Presiden saat konpers. Sehingga publik pun makin bertanya-tanya: apakah SBY benar-benar serius mengatakan TIDAK terhadap korupsi? Dan apakah SBY benar-benar punya niat baik untuk memberantas korupsi? Jika ya, maka mengapa hanya dengan persoalan pengungkapkan sosok Bunda Putri tidak mampu untuk dilakukannya? Apakah Bunda Putri adalah istri seorang pejabat di Kementan atau justru orang di dalam istana atau Cikeas?

Menyikapi munculnya banyak pertanyaan seperti di atas, Ketua Umum Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARuP) DR. Rizal Ramli mengatakan, kalau jalinan cerita ini benar, berarti taktik pengalihan isu SBY berhasil lagi.

“Dalam dunia militer dikenal taktik decoy atau penggunaan sasaran palsu. Kalau ini benar, maka SBY berhasil menggunakan taktik decoy dengan tujuan mengalihkan sasaran kemarahan publik, dari orang dalam Cikeas (keluarga Presiden) kepada pihak lain di luar Cikeas,” ujar Rizal Ramli seperti dikutip rmol.co.

Di sisi lain, tidak dipenuhinya janji SBY untuk mengungkap sosok Bunda Putri, membuat Ketua DPP PKS Hidayat Nur Wahid turut menjadi bingung.
“Publik 3.000 persen menunggu hasil investigasi dari Presiden. Jika tidak diungkap, ini justru akan menimbulkan kecurigaan relasi Bunda Putri dengan beberapa pihak di Istana,” ujar Hidayat Nur Wahid, di Jakarta, Kamis (17/10/2013). Seperti dikutip kompas.com.

Hidayat banhkan bertanya-tanya, mengapa kali ini hanya juru bicara Presiden yang menyampaikan informasi pembatalan? “Apakah itu perintah Pak SBY, atau manuver Julian sendiri?” tanyanya. Kalau pun memang profil Bunda Putri tak jadi diumumkan, Hidayat berpendapat akan lebih baik bila Presiden sendiri yang mengumumkannya, sebanding dengan konferensi pers dan kemarahan Presiden atas kesaksian Luthfi.

Kronologis munculnya nama sosok Bunda Putri ini memang berawal dari kesaksian LHI, tetapi sumber pertama penyebutan nama Bunda Putri ini tentu saja berasal dari lingkaran istana. Artinya, LHI dalam hal ini hanya meneruskan penyebutan sosok tersebut dalam persidangan.

Sehingga kembali menurut Rizal Ramli, Bunda Putri yang sebenarnya adalah wanita yang berinisial SS. “Presiden berhasil mengelabui rakyat Indonesia dengan membesar-besarkan tokoh decoy, tokoh palsu yaitu yang banyak fotonya dengan menteri-menteri. Tokoh sesungguhnya bukan itu, adalah SS, istri dari seseorang yang bekerja di Cikeas,” ungkap Rizal Ramli yang juga sebagai Tokoh Arus pergerakan Perubahan ini.

Karena sejauh ini belum ada kejelasan tentang sosok Bunda Putri. Menyusul dengan batalnya SBY mengungkap jatidiri Bunda Putri, membuat publik pun seakan merasa tertipu. Lalu pertanyaan tentang siapa sesungguhnya yang berbohong, publik sudah bisa menebaknya?!>map/ams

Senin, 14 Oktober 2013

Kali ini, Saya “Percaya 2014%” Luthfi

[RR1online]:
PUBLIK sejauh ini boleh saja tak lagi simpatik dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dinilai telah melakukan perbuatan “kotor” (seperti korupsi). Tetapi, pada persoalan pemberian keterangan yang dilakukan Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) dengan menyebut Bunda Putri sebagai sosok yang memiliki kedekatan dan “pengaruh” khusus kepada SBY, maka secara pribadi saya masih menaruh rasa salut.

“Bunda Putri adalah orang yang dekat dengan Presiden SBY. Dia sangat tahu soal kebijakan reshuffle,” ungkap Luthfi saat bersaksi dalam sidang Ahmad Fathanah, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada kasus suap impor daging sapi, di Jakarta, Kamis (10/10/2013). Seperti ditulis merdeka.com.

Dari kasus dugaan suap itu, katakanlah Luthfi memang telah turut berbuat “kotor”. Namun, justru karena alasan telah dinilai berbuat “kotor” itulah, yang kemudian kiranya membuat Luthfi pun harus “terpaksa berkata jujur”. Dalam hal ini, Luthfi tentu ingin mencari “keadilan”, yakni dengan berusaha menunjukkan kepada Hakim dalam persidangan, bahwa ia tidaklah “sendiri” bermain kotor.

Sederhananya, Luthfi saat ini sangat sadar bahwa dirinya telah terlanjur basah “tercebur” di kubangan lumpur, ditambah lagi di sisi lain dengan terbongkarnya beberapa kasus korupsi seperti di SKK Migas, lalu terakhir dengan ditangkapnya Ketua MK, yang dengan mengetahui semuanya itulah, Luthfi pun kemudian pada akhirnya nampaknya lebih memilih untuk “sekalian” saja membeberkan semua rentetan “kisah” yang mewarnai perjalanannya hingga  harus berada di meja-hijau.

Jika hal ini coba dihubungkan dengan kesaksian sebelumnya dari Ridwan Hakim, putra Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminuddin, yang beberapa waktu lalu menyebut nama Sengman yang juga dinilai sebagai sosok yang memiliki kedekatan dengan SBY, maka akankah majelis hakim mengabaikan kesaksian Luthfi?

Penyebutan nama Sengman dan juga Bunda Putri yang mengaitkan nama SBY adalah sebuah fakta persidangan. Anehnya, SBY buru-buru menanggapi kesaksian (fakta persidangan) tersebut secara amat tegas dan dengan intonasi “marah”. Yakni, SBY bergegas melakukan klarifikasi di luar persidangan melalui konferensi Pers (konpers),  di Halim Perdanakusuma Jakarta, Kamis malam (10/10).

Padahal lalu-lalu, SBY berkali-kali pernah mengatakan, bahwa dirinya tidak akan ingin “mencampuri“ alias intervensi  terhadap semua perkara hukum, terutama kasus korupsi. Tetapi, SBY nampaknya lupa, bahwa dengan melakukan klarifikasi atau tanggapan yang tergopoh-gopoh (melalui konpres) atas kesaksian seseorang yang sedang (masih proses hukum) di dalam persidangan, itu sama saja secara tidak langsung telah melakukan intervensi.

“Reaksi” dan sikap SBY itu, secara psikologis bisa membuat majelis hakim merasa terganggu, dan bahkan (mungkin) bisa merasa “tertekan” ketika mengetahui adanya tanggapan “marah” dari kepala negara atas kesaksian Luthfi. Dan ini bisa saja mempengaruhi kemurnian dari keputusan yang akan diambil oleh majelis hakim nantinya. Namun, moga-moga saja tidak demikian!

Tidak cuma itu, tanggapan mendadak dari SBY juga bisa membangun berbagai opini publik yang beragam. Sehingga, apabila ada opini bersifat dugaan yang mengarah ke SBY sebagai sosok yang mungkin juga terlibat dalam kasus “korupsi” itu, maka opini itu tak bisa dicegah, apalagi jika pendapat publik tersebut ingin disalahkan.

Sebab, SBY-lah sesungguhnya yang telah MEMAKSA publik untuk memunculkan beragam opini dari konpers tersebut. Apalagi memang saat ini, berbagai kalangan sudah menaruh rasa tidak percaya terhadap pemerintahan SBY yang misalnya juga karena “ulah” dari sejumlah kader partainya. Publik bahkan bisa menilai, bahwa bantahan SBY itu sepertinya sebagai cuci tangan saja. Atau istilah: “Ketang dan Kepiting sama saja”.

Dalam konpers itu, SBY nampak sekali dengan semangat berkobar-kobar dan “bernafsu”membantah kesaksian Luthfi. Padahal, sikap tegas berkobar-kobar dari SBY seperti itulah sesungguhnya yang sangat dinanti-nantikan Rakyat Indonesia,  yakni misalnya, ketika Malaysia berkali-kali “menghina dan melecehkan” Indonesia, atau di kala TKW kita di luar negeri diperlakukan seperti binatang, diperkosa, dihamili, dan bahkan dibunuh. Sayangnya, di saat-saat seperti itu SBY dan para kader di parpolnya yang biasa berteriak lantang, malah seakan MK (Mati Kutu). Sehingga, membuat rakyat pun jadi bingung dan kecewa.

Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli bahkan juga mengaku bingung dan menyayangkan sikap Presiden SBY tersebut. “Saya bingung, SBY merendahkan dirinya sendiri dengan marah-marah begitu,” ujar Rizal di sela-sela diskusi di Gedung DPD/DPR RI Jakarta, Jumat (11/10/2013).

Ketua Pergerakan Arus Perubahan itu menyebutkan, SBY seharusnya tak perlu marah-marah seperti itu. Jika memang ada isu yang perlu diluruskan, Rizal Ramli menyarankan, cukup SBY sebagai Presiden mewakilkan kepada juru bicara Presiden atau sekretaris Kabinet.

Sebab, lanjut Rizal Ramli, jika Presiden yang langsung menanggapinya dengan mimik marah-marah seperti itu, maka itu justru dapat menimbulkan penilaian bahwa ini tentu ada apa-apanya.

Namun figur yang juga mulai ramai diincar untuk dimajukan dalam pilpres 2014 ini pun, mengaku tidak mengenal siapa itu Bunda Putri. “Saya tidak kenal Bunda Putri, jadi no comment,” kata Rizal Ramli.

Tetapi kalau mengenai Sengman, Rizal Ramli berani mengatakan SBY berbohong apabila mengaku tak mengenal sosok Sengman. “SBY berbohong kalau tidak kenal Sengman, karena SBY kenal banget,” ujar Rizal, seperti dilansir tribunnews.

Sementara itu Politisi PKS Fahri Hamzah menyebut, Presiden SBY hanya pura-pura tidak tahu soal Bunda Putri. “Harusnya tahu. SBY berlagak ‘pilon’ (pura-pura tidak tahu) aja. Setiap orang yang ketemu LHI atas namakan SBY kan pasti dikonfirmasi,” kata Fahri Hamzah saat dikonfirmasi wartawan di Jakarta, Jumat (11/10). Seperti dikutip jpnn.com.

Selama ini, kata Fahri, KPK selalu memutus rantai pemberantasan korupsi menuju kekuasaan. Misalnya saja kasus di Hambalang yang menyeret nama Edi Baskoro Yudhoyono (Ibas), namun ditutup oleh KPK. Dalam kasus impor, kata Fahri, ada sosok Bunda Putri dan Sengman.

“SBY seharusnya membaca ini gejala apa. Sebab ini bukan sekadar soal jual nama, tapi soal konsep dan strategi pemberantasan korupsi yang SBY abaikan sejak lama. Artinya SBY ini sudah jadi bagian dari masalah,” ujar Fahri.

Kembali mengenai kesaksian yang diberikan Luthfi. Selain SBY yang mendadak marah, ternyata sebelumnya, seorang hakim dalam persidangan tersebut lebih dulu telah memarahi Luthfi atas disebutnya nama Bunda Putri dan SBY. “Anda tidak rasional. Ketika ditanyakan dekat dengan SBY, langsung cepat menjawab. Tapi begitu ditanyakan dia siapa, saudara tidak tahu,” kata hakim anggota Nawawi Pomolango di persidangan, Jakarta, Kamis (10/10/2013) tersebut. Seperti dilansir tempo.co.

Tak hanya itu, hakim Nawawi juga mengaku tak suka karena Luthfi menuding berbagai pihak. Sebab, selain menyebut dekat dengan SBY, Luthfi juga mengatakan Bunda Putri merupakan anak pendiri Golkar. “Saya tidak mau persidangan ini jadi ruang untuk nyekak sana nyekak sini,” ujar Nawawi.

Untuk menggali kebenaran, hakim memang punya hak penuh untuk memarahi seorang saksi maupun terdakwa dalam persidangan. Tetapi ketika ada sejumlah keterangan ataupun kesaksian yang mungkin masih dianggap “misteri” yang muncul di persidangan, maka itu adalah menjadi kewajiban hakim untuk mengungkap kebenarannya demi menegakkan KEADILAN di dalam negara hukum ini, yakni tanpa harus terpengaruh dengan kekuasaan dari pihak-pihak tertentu. Kalau perlu, kesaksian Luthfi ini bisa dikonfrontir dengan menghadirkan secara resmi SBY, bukan malah dengan cara membantah lalu balik menuding Lutfhi 1000%….2000% bohong di luar persidangan. UUD 1945, pasal 28D (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Sehingga, menurut pandangan psikologis saya dalam hal ini, jika hakim bisa memarahi seorang saksi yang dianggap “mengada-ngada”, atau katakanlah hanya sebatas karena ada keterangan seorang saksi yang TIDAK DISUKAI oleh hakim lalu kemudian hakim itu memarahinya……, maka apa bedanya dengan SBY yang pula ikut “memarahi” Luthfi dengan “menggelar sebuah persidangan tandingan” di luar pengadilan..???

Namun terlepas dari semua itu, saya sebagai pengamat politik, hukum dan sosial, sementara ini hanya bisa menyimpulkan, bahwa baik kesaksian yang  “dahsyat” dari Luthfi, maupun bantahan “galau” SBY bernada marah yang bukan pada tempatnya, adalah saya percaya 2014% bermuatan politik.

Tetapi salah satu di antaranya (SBY ataukah Luthfi) tentunya memiliki nilai kebenaran yang “HARUS DIKEJAR” dan diungkap oleh hakim secara arif dan bijaksana, serta harus dengan TEGAS dan BERANI memunculkan kebenaran tersebut atas nama TUHAN SANG PEMILIK KEADILAN.
Salam Perubahan….!!!!

Jumat, 11 Oktober 2013

Pasca AM: MK Kini Lebih Berpotensi “Senangkan” Parpol Penguasa?

Kategori: Opini*
[RR1online]:
INILAH sejarah baru dalam dunia hukum yang sudah pasti jauh dari rasa dan wujud keadilan. Yakni, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam persidangan sengketa Pilkada Jatim memutuskan perkara dengan jumlah Hakim 8 orang (genap). Padahal  di belahan dunia manapun, jumlah hakim dalam memutuskan sebuah perkara harus berjumlah ganjil, atau sekurang-kurangnya 3 orang.

Kita memang tahu bersama, bahwa saat ini Hakim MK berkurang 1 orang, yakni Ketua MK Akil Mochtar (AM) telah tertangkap tangan menerima uang yang diduga itu sebagai suap. Tetapi itu tidak menjadi alasan untuk serta-merta mengikutkan semua hakim yang masih tersisa. Artinya, dalam setiap acara persidangan, MK tidak mesti mengikutkan semua (8 orang) hakim. Sebab, dengan jumlah genap, putusan bisa dinilai tidak memenuhi rasa dan wujud keadilan.

Jika kondisi itu tetap dipaksakan dengan mengikutkan semua (8 hakim MK), maka patut diduga, bahwa MK boleh jadi memang sudah dipenuhi dengan orang-orang yang tidak kredibel, dan telah ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu. Jika demikian, maka hukum di negara kita sedang disandera oleh kekuasaan pihak-pihak tertentu.

Dugaan seperti ini memang tidaklah keliru. Sebab, sejumlah Hakim MK memang berpotensi untuk diintervensi oleh pihak-pihak tertentu. Tengok saja, bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, MK mempunyai 9 orang Hakim Konstitusi, yakni sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 (hasil amandemen ke-4), yang menyebutkan:
“Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.”

Dari pasal tersebut bisa jelas menunjukkan, bahwa MK sangatlah memungkinkan untuk diintervensi oleh DPR dan bahkan oleh Presiden. Apalagi jika dihubungkan dengan kondisi dan situasi politik yang akhir-akhir ini nampaknya kurang menguntungkan pihak parpol penguasa.

Tertangkapnya AM, ditambah dengan kondisi yang kurang menguntungkan oleh parpol penguasa inilah yang boleh jadi coba “dimanfaatkan” oleh sejumlah Hakim MK untuk dapat “meraih” simpatik dari DPR atau bahkan Presiden. Yakni dengan, misalnya tanpa suap pun, MK bisa memutuskan perkara sengketa Pemilukada Jatim yang tetap memenangkan pasangan Karsa. Tetapi, keputusan ini justru boleh jadi merupakan “kejahatan konstitusi” yang lebih “parah” daripada perbuatan AM.

Sebab, dengan ditolaknya gugatan sengketa Pilkada Jatim yang diajukan oleh pasangan Khofifah Indar Parawansa-Herman Sumawiredja pada sidang putusan di MK, Jakarta, Senin (7/10) itu, setidaknya  bisa membuat “SENANG” partai penguasa atas apa yang telah diputuskan oleh 8 Hakim MK tersebut. Mengapa? Karena, pasangan Karsa didukung oleh seluruh parpol (minus PKB dan PDIP) yang bercokol di senayan.

Dalam putusan tentang Pemilukada Jatim itu, MK nampaknya tidak menengok dan mencermati bagaima “besarnya upaya” dari pihak Karsa yang dari awal sudah melakukan praktek “penghambatan” terhadap pasangan Khofifah yang diusung oleh PKB tersebut.

DKPP bahkan telah memberi sanksi kepada KPUD Jatim atas pleno yang tidak meloloskan pasangan Khofifah, lalu DKPP memerintahkan agar pasangan Khofifah segera disahkan pula sebagai peserta Pemilukada Jatim. Sesungguhnya, historis upaya “pencekalan” inilah yang harusnya digali oleh MK guna memunculkan keadilan.

Sehingganya, tak salah jika Rizal Ramli sebagai Tokoh oposisi  Ketua Pergerakan Arus Perubahan menilai ada beberapa kejanggalan pada putusan Mahkamah Konstusi (MK) yang menolak gugatan hasil pilkada Provinsi Jawa Timur tersebut.

Rizal Ramli melihat kejanggalan tersebut antara lain, majelis hakim pada persidangan tersebut berjumlah delapan orang, padahal seharusnya berjumlah ganjil. Sebab, katanya, di negara mana pun di dunia majelis hakim selalu jumlahnya ganjil, tidak ada yang genap.

Kejanggalan lainnya, kata dia, majelis hakim hanya mendengarkan keterangan saksi-saksi dari tergugat dan banyak mengabaikan keterangan saksi-saksi penggugat. “Karena itu saya mencurigai ada kompromi antara hakim konstitusi dan tergugat,” katanya. Seperti dilansir antaranews.

Anggota Tim Kuasa Hukum penggugat pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa dan Herman Suryadi Sumawiredja, yakni Juli Edy menilai, Majelis Hakim Konsitusi pada persidangan putusan tidak memberikan pertimbangan yang cukup terhadap bukti-bukti dan saksi-saksi, termasuk saksi ahli dan pemohon.

Juli Edy juga menilai, Majelis Hakim Konstitusi terkesan menggampangkan membuat kesimpulan bahwa dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum, tanpa mengurai dan atau mempertimbangkan bukti-bukti dan saksi dari pemohon.

Sementara itu, calon Gubernur Jatim yang mengajukan gugatan sengketa pilkada ke MK, Khofifah Indar Parawansa menilai, pada amar putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim Konstitusi lebih berpihak kepada tergugat.

Hal ini, kata dia, terlihat dari uraian yang dibacakan Majelis Hakim hanya menyampaikan pernyataan saksi-saksi dari pihak tergugat dan tidak menyampaikan pernyataan saksi-saksi dari pihak penggugat.

Sehingga putusan MK ini pun memperkuat kemenangan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa) yang didukung oleh 10 partai parlemen di Jatim, yakni Partai Demokrat, Golkar, PAN, PKS, Gerindra, Hanura, PPP, PKNU, PDS, dan PBR. Serta 20 partai nonparlemen. Dan “kekuatan” para parpol inilah yang boleh jadi sulit dihadapi oleh MK saat ini.

Tanpa diperjelas secara gamblang pun, dengan melihat kekuatan parpol seperti itu, maka nampaknya memang sangat sulit bagi MK untuk memberanikan diri memunculkan putusan menerima gugatan pasangan Khofifah, meskipun sekiranya pasangan ini benar-benar jelas-jelas dicurangi secara politik. Sebab, apabila MK menerima gugatan Khofifah, maka dipastikan MK telah “menyakiti hati” para parpol pendukung Karsa tersebut. Padahal, justru dalam kondisi seperti inilah MK seharusnya berkesempatan untuk melakukan “revolusi” di bidang hukum yang berpihak kepada konstitusi atas nama rakyat, bukan atas nama parpol.