Selasa, 31 Desember 2013

KPK pun Cium Aroma Suap Hasil Pilgub Jatim 2013

Kategori: Artikel*
[RR1online]:
SAAT ditangkap tangan oleh KPK, Akil Mochtar (AM) masih menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), dan saat itu proses sengketa Pilgub Jatim juga masih sempat ditangani AM. Meski memang pada saat pembacaan putusan tidak lagi dilakukan oleh AM, tetapi proses pembuatan putusan Pilgub Jatim tersebut diyakini masih merupakan hasil “kerajinan tangan” AM.

Sehingga untuk menelusuri seluruh hasil “jarahan” Akil Mochtar yang memenangkan pemberi suap pada setiap sengketa Pilkada, KPK akhirnya cukup jeli melihat kemungkinan suap yang juga dilakukan oleh pasangan incumbent, Karsa= Soekarwo – Saifullah Yusuf.

Ya, setelah dugaan suap penanganan sengketa Pilkada Lebak, Banten dan Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, lembaga pimpinan Abraham Samad itu terus mengendus dugaan suap di semua sengketa Pilkada di daerah lainnya, termasuk Pilgub Jatim 2013.

Selasa (31/12/2013), Ketua KPU Jatim Andry Dewanto Ahmad akhirnya diperiksa oleh penyidik KPK di Gedung KPK, Jakarta.

Priharsa Nugraha selaku Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi membenarkan penyidik KPK yang tangani kasus Akil Mochtar hari ini (Selasa 31/12/2013) memeriksa Ketua KPU Jatim sebagai saksi dari pengembangan yang dilakukan oleh penyidik atas tersangka Akil Mochtar.

“Ya, Ketua KPU Jatim diperiksa sebagai saksi untuk tersangka AM,” ujar Priharsa singkat menjawab pertanyaan sejumlah awak media.

MK saat dipimpin Akil Mochtar memang sangat patut diduga juga telah memenangkan pasangan Karsa melalui suap. Kenapa..?

Sebab, pasangan Karsa adalah pasangan incumbent yang disebut-sebut sangat gampang menyediakan uang miliaran rupiah demi memenangkan kembali pertarungan Pilgub Jatim. Ini terungkap dalam Rapimnas Partai Kedaulatan, 15-17 Juni 2013.

Sebagai salah satu pimpinan Partai Kedaulatan di daerah, saya bersama para peserta Rapimnas mendengar, bahwa Sekjen kami di Partai Kedaulatan telah menerima uang panjar dari jumlah miliaran yang akan disediakan oleh pasangan Karsa tanpa sepengetahuan Ketua Umum Partai Kedaulatan.

Rapimnas kemudian sepakat untuk memecat Sekjen, dan menggantikannya dengan Sekjen yang baru. Lalu memutuskan untuk tetap mendukung pasangan Khofifah-Herman.
Dari Rapimnas itulah Pasangan Karsa terungkap siap menggelontorkan uang miliaran rupiah asalkan Partai Kedaulatan bisa ikut bergabung sebagai parpol koalisi. Selain itu, sekaligus juga besar dugaan adalah demi menghambat lolosnya pasangan Khofifah-Herman untuk maju dalam Pilgub Jatim 2013.

Dugaan adanya upaya untuk menghambat pasangan Khofifah-Herman nyaris berhasil dilakukan pasangan Karsa, boleh jadi juga dari hasil kongkalikong dengan KPU Jatim. Yakni dalam pleno, KPU jatim memutuskan pasangan Khofifah-Herman TIDAK MEMENUHI SYARAT untuk maju dalam Pilgub.

Pasangan Khofifah-Herman pun mencari keadilan demokrasi di negeri ini. Melalui persidangan di DKPP, Khofifah-Herman akhirnya diputuskan sah dan berhak untuk juga ikut sebagai peserta Pilkada Jatim 2013.

Olehnya itu, jika KPK kemudian juga mencium adanya aroma kecurangan yang diduga dilakukan oleh pasangan Karsa pada proses sengketa di MK, maka itu tidak keliru. Jempol buat KPK..!!!! Sebab, dalam perjalanannya, pasangan Karsa memang telah memperlihatkan gelagak takut kalah dari lawan terkuatnya sejak Pilgub Jatim sebelumnya, yakni pasangan Khofifah-Herman.

Kita tunggu hasil penciuman KPK itu secara nyata demi kebenaran dan keadilan, serta untuk kemajuan berdemokrasi secara sehat di negeri ini. Sekali lagi, dua jempol buat KPK…!!!
---------
*Sumber: Kompasiana

“Gravitasi” Pemerintahan SBY di Lingkaran “Gratifikasi”?

[RR1online]:
MAKNA gravitasi yang saya maksud di sini adalah sebuah kekuatan yang mampu membuat suatu pemerintahan bisa tetap kembali berpijak di atas penguasa yang sama. Ibarat bola yang dilempar ke atas, akan tetap kembali turun karena adanya kekuatan gaya tarik bumi.

Sedangkan gratifikasi dalam hal ini, adalah sebuah hadiah yang diberikan atas balas jasa terhadap suatu hasil pekerjaan. Baik berupa uang, barang, jabatan, wanita penghibur, dan segala yang mampu memberi kepuasan lainnya.

Namun judul artikel ini adalah sebuah pertanyaan. Yang selanjutnya, dari hasil perenungan, baik secara analisis politik maupun dengan melibatkan pemikiran rasio saja, maka jawabannya bisa dirangkai ke dalam beberapa pandangan yang dapat dilukiskan menurut kondisi yang ada saat ini.

Pandangan dan penilaian pertama yang memang nampaknya mendekati kebenaran adalah datangnya dari Mantan Menko Perekonomian, DR. Rizal Ramli (RR1) yang dengan tegas menyebutkan, bahwa Boediono  sangat patut diduga telah menerima gratifikasi (hadiah) dalam bentuk jabatan. Yakni terpilih sebagai Cawapres mendampingi SBY dalam Pilpres 2009.

Menurut RR1, Boediono mungkin tidak menerima dana dari bailout Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. Tetapi patut diduga lantaran “berhasil” mengubah peraturan mengenai capital adequacy ratio (CAR) yang memungkinkan Bank Century mendapatkan suntikan dana talangan, Boediono pun akhirnya mendapatkan sogokan dalam bentuk lain, yakni jabatan.

Dari pendekatan analisis politik dan pemikiran rasio saya, dugaan RR1 itu sangat sulit dibantah. Artinya, apa yang dikatakan oleh RR1 tersebut bukan hanya sebagai aksioma, tetapi juga adalah sebuah logika yang sangat mendekati kebenaran. Dan pembuktiannya hanya dapat dimunculkan oleh KPK. Itupun jika KPK memang ingin benar-benat serius untuk segera memunculkan kebenarannya.

Disebut logika yang sangat mendekati kebenaran, karena mengapa Boediono bisa secara tiba-tiba ditunjuk menjadi Cawapres 2009 setelah berhasil mengucurkan dana Rp.6,7 Triliun, padahal Boediono bukanlah kader Partai Demokrat atau dari partai lainnya, juga tak ada kinerja yang patut ditunjuk sebagai prestasi dari Boediono. Sehebat itukah Boediono sehingga bisa mengalahkan Bakal Cawapres 2009 yang saat itu tengah digodok oleh Partai Demokrat?

Dari logika tersebut, saya kira bukan hanya RR1 yang menduga kuat jika jabatan Boediono saat ini adalah hasil “gratifikasi”, tetapi juga hampir semua rakyat Indonesia akan berpikiran sama. Termasuk kalangan parpol lainnya yang saat itu telah mengajukan dan memasukkan nama kader mereka untuk dipilih sebagai cawapres 2009, namun tiba-tiba hanya Boediono yang dipilih. Sehingga sepertinya pengacara keluarga SBY keliru jika hanya melayangkan somasi kepada RR1.

Apalagi kenyataannya Bank Century memang sedang bermasalah dan menjadi salah satu kasus korupsi papan atas saat ini. Sehingga siapa pun secara langsung atau tidak akan bisa membentuk sebuah pemikiran yang mengarah kepada sosok Boediono. Terhadap kasus tersebut, maka pemikiran politiknya adalah bisa menempatkan Boediono sebagai penerima gratifikasi. Dan secara pemikiran hukum, Boediono pun sebetulnya sudah patut dijadikan tersangka karena posisinya saat itu adalah sebagai penanggung-jawab, yakni Gubernur BI.

Selain  menurut RR1 yang menyebut dugaan gratifikasi yang membuat Boediono terpilih jadi cawapres, juga menurut pemikiran saya yang lebih melihat Boediono sebagai sosok yang nampaknya sangat mudah dikendalikan oleh SBY dibanding dengan sosok cawapres yang diajukan saat itu oleh parpol koalisi.

Sepertinya SBY memang sangat kuatir jika harus memilih cawapres dari salah satu kader parpol koalisi. Yakni kuatir jangan-jangan nantinya akan “digoyang” oleh pasangannya (wapres) karena berasal dari kalangan parpol. Sehingga, meski dinilai minim prestasi, Boediono pun menjadi pilihan SBY.

Saya bisa menduga, bahwa alasan SBY harus memilih Boediono nampaknya terbilang “licik”, yakni supaya pemerintahan bisa berjalan aman dan tidak terusik meski harus melakukan kebijakan apapun. Sebab Boediono sebagai Wapres tentunya diyakni lebih patuh dan tunduk kepada SBY dibanding jika wapresnya berasal dari kalangan parpol lainnya.

Persoalannya kemudian adalah: apa yang bisa dipersembahkan sebagai kontribusi nyata dari seorang Boediono untuk menduduki jabatan Wapres…??? Pertanyaan inilah sebetulnya yang memaksa orang untuk akhirnya harus memunculkan pandangan bahwa cerita mati (omong kosong) jika Boediono tidak melakukan “apa-apa” lalu kemudian bisa dengan mudahnya dipilih sebagai cawapres, sampai-sampai bisa mengalahkan calon-calon kuat dari parpol koalisi lainnya.

Dugaan gratifikasi dalam pemerintahan SBY sepertinya tidak hanya sampai kepada posisi Wapres. Dan untuk memperkuat serta mengamankan pemerintahannya, SBY juga patut diduga telah memberikan gratifikasi kepada sebagian besar menterinya. Besar dugaan saya salah satunya adalah Dahlan Iskan (DI), dari dirut PLN lalu menjadi Menteri BUMN. Apa hebatnya…???

DI memang sangat hebat karena mampu “membantu” suksesnya pencitraan SBY di seluruh media cetak jaringan Jawa-Pos Grup mulai sejak Pilpres 2004 hingga 2009 silam.

Sedikit tentang DI yang saya tahu, meski hanya sepintas tetapi menyimpan bekas dalam ingatan. Yakni, (mencoba mengingat) sebelum saya mengundurkan diri dari Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 1999. Pertama kali saya melihat langsung DI sekitar tahun 1997. Yakni pada sebuah rapat kerja (Raker) akhir tahun redaksi di lantai III Harian FAJAR, Jalan Racing Center Makassar.

Kala itu DI tiba-tiba nongol dan bergabung dalam rapat. Seluruh wartawan, kecuali petinggi FAJAR, bertanya-tanya dalam hati, siapa gerangan “gembel” yang berani masuk ke dalam ruangan rapat pada hari itu. Sebab, DI hanya tampil “kusut” memakai baju oblong dan celana pendek putih, juga bersepatu merek “dragon-fly” putih, membuat kulit tubuhnya yang hitam makin jelas terlihat.

Setelah diperkenalkan oleh Wapemred Aidir Amin Daud  (kini menjabat salah satu Dirjen di Kemenkumham), barulah teman-teman sesama wartawan mengetahui bahwa “gembel” itu ternyata “The Big-Boss”. Seketika kita semua yang hadir dalam rapat tersebut merasa salut dengan karakter DI yang amat sederhana itu.

Sayangnya, keluhan dan masukan yang ingin ku sampaikan secara langsung usai DI memberikan sambutan dan arahan dalam rapat tersebut, enggan ia dengar.  Saat ku sapa di antara sedikit kerumunan teman-teman, DI hanya berlalu begitu saja dikawal sejumlah petinggi Harian FAJAR. Dan sejak itu, saya menilai DI tidak punya sensitivitas sebagai seorang “big-boss”.

Kembali mengenai gratifikasi. Pemerintahan SBY nampaknya hanya “dihuni” oleh orang-orang yang telah memberikan “jasa” besarnya saat momen suksesi (Pilpres) tanpa diikuti dengan pertimbangan latarbelakang keahlian dan keprofesionalan seseorang.

Selain DI, tentu ada beberapa menteri atau pejabat yang diduga bisa menduduki jabatan saat ini karena pula sebuah “gratifikasi”. Bukankah saat ini seluruh parpol koalisi bisa mendapat jatah posisi sebagai menteri (atau jabatan lainnya) karena hanya dinilai “berjasa” telah menyumbangkan suara kemenangan SBY-Boediono..???

Jika memang hanya pertimbangan “jasa” seseorang bisa menjadi wapres atau menteri dan pejabat negara lainnya, maka pantas saja Bangsa dan Negara ini sulit berkembang secara pesat karena sebagian besar pejabat lebih merasa jabatannya adalah  sebagai “imbalan” yang layak untuk “hanya dinikmati”, bukan untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung-jawab.

Dan apabila cara-cara seperti ini yang menjiwai terbentuknya sebuah pemerintahan, maka rakyat miskin tetap menjadi miskin dan tidak akan mendapatkan kesejahteraan sampai kapan pun. Sebab, Sang Penguasa tentu hanya lebih banyak berpihak kepada Sang Pemberi Jasa. Dan kondisi ini umumnya juga terjadi di hampir semua daerah di tanah air.

Sehingga, jika KPK tak juga bisa menuntaskan kasus Bank Century yang diduga Boediono adalah sosok yang paling bertanggungjawab, maka jangan salahkan jika publik kemudian juga memunculkan dugaan bahwa: “jangan-jangan KPK saat ini juga bagian dari hasil gratifikasi? Atau mungkin KPK sudah berada di wilayah gravitasi sang Penguasa?”
-----------

*Sumber: Kompasiana

Rabu, 25 Desember 2013

SBY akan Somasi Rizal Ramli: “Bola Panas Siap Di-gol-kan”

Jakarta, [RR1online]:
DUGAAN kuat dari Rizal Ramli yang menilai Boediono telah menerima gratifikasi jabatan sebagai Wapres, nampaknya telah menjadi bola panas yang kini siap ditendang dan digolkan ke gawang Kasus Bank Century. Bagaimana tidak, lantaran dugaan yang dilontarkan Rizal Ramli itu, SBY melalui pengacaranya akan melayangkan somasi kepada mantan Menko Perekonomian tersebut.

“Secepatnya kami kirimkan surat dan somasi,” ungkap pengacara keluarga SBY, Palmer Situmorang, seperti dikutip dari sebuah koran ibukota, Selasa (24/12/2013).

Rencana untuk melakukan somasi kepada Rizal Ramli itu pun spontan mendapat sorotan dari berbagai pihak dan kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat.

Ketua Presidium Ind Police Watch (IPW) Neta S Pane setuju dengan pendapat bahwa somasi itu sebagai bagian dari upaya kriminalisasi yang dilakukan SBY terhadap Rizal Ramli yang dikenal sebagai tokoh oposisi nasional.

Kriminalisasi oleh penguasa terhadap lawan politiknya, kata Neta, sejak dulu sudah banyak terjadi sehingga saat ini hal itu bukanlah tindakan populer. Bahkan kini tindakan tersebut cenderung menjadi tindakan kontraproduktif yang merugikan bagi pelakunya.

“Somasi itu akan menguntungkan publik. Sebab nanti akan terbuka secara transparan dimana posisi SBY dan Boediono saat pencalonan sebagai capres dan cawapres tahun 2009,” ujar Ketua Presidium Ind Police Watch (IPW) Neta S Pane. Seperti dilansir rmol.

Neta mengatakan pilihan menjadikan Boediono sebagai cawapres SBY secara tiba-tiba jelang Pemilu 2009 memang cukup aneh dan menimbulkan tanya. Boediono bukanlah kader Partai Demokrat dan tidak masuk daftar sembilan Cawapres yang diumumkan SBY, namun kemudian dialah yang diusung.

“Kenapa Boediono tiba-tiba menjadi cawapres padahal sebelumnya tidak pernah muncul? Apa sumbangsih konkrit Boediono dalam pencalonan? Semuanya akan terbuka terang benderang jika kasus ini dicuatkan,” tutur Neta.

Neta yakin dengan somasi tersebut, maka misteri bahwa permintaan agar Boediono menyelamatkan Bank Century sebenarnya untuk mencari amunisi sebagai bekal menghadapi Pilpres, dan jabatan Wapres untuk Boediono sebagai gratifikasi politik bisa terkuak.

“Dengan begitu KPK bisa lebih cepat membawa para tersangka Century ke Pengadilan Tipikor,” pungkas Neta.
Sementara itu, Rizal Ramli yang juga selaku Anggota Gerakan Indonesia Bersih (GIB) menyatakan siap meladeni rencana somasi pengacara keluarga Presiden SBY kepada dirinya terkait pernyataannya beberapa waktu lalu yang menyebutkan, bahwa jabatan Wakil Presiden (Wapres) Boediono adalah hadiah dari SBY atau gratifikasi politik setelah berhasil mengucurkan bailout Bank Century.

Kesiapan ekonom senior Rizal Ramli meladeni somasi pengacara SBY ini disampaikan oleh Koordinator GIB Ahdie M Massardi yang juga Mantan Jurubicara Kepresidenan era Gus Dur, Selasa (24/12/2013).

“Kami siap meladeni langkah panik SBY. Tentu saja yang akan senang nanti rakyat Indonesia karena di pengadilan akan kami buktikan bahwa Boediono dan Sri Muilyani mendapat gratifikasi jabatan atas jasanya menggelontorkan triliunan uang rakyat untulk bailout Bank Century,” tegas Adhie, seperti dikutip pesatnews.

Adhie bahkan mengaku nantinya akan siap membawa saksi-saksi yang bekas orang dekat SBY. “Kalau perlu, hasil sadapan percakapan SBY dan SMI saat di Amrik! Ini bisa mempercepat KPK menambah tersangka skandal Century,” ujar Adhie serius tapi santai tersenyum.

Menurutnya, pihak Rizal Ramli justru menyambut baik somasi tersebut. Karena akan semakin membuka kesempatan untuk menjelaskan kepada publik siapa sebenarnya Boediono.  Bahkan, kubu SBY sebaiknya langsung membawa kasus itu ke ranah hukum, tidak perlu permintaan klarifikasi atau somasi. “Supaya semakin jelas,” lontar Adhie.

Secara terpisah, Abdul Muis Syam selaku Koordinator Forum Gerakan Berantas Korupsi (For-Gebrak) menilai, bahwa somasi itu nantinya akan membuat bola panas yang telah ditendang oleh Rizal Ramli itu semakin berada di mulut gawang. “Somasi yang akan dilayangkan SBY kepada Rizal Ramli itu justru akan lebih menelanjangi peran Boediono dalam kasus Bank Century. Sehingga jika diibaratkan sebuah bola, maka bola itu akan semakin mudah digolkan,” ujar Muis melalui status facebooknya.

Lebih jauh, Muis yang juga sebagai Ketua Presidium Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI) Provinsi Gorontalo itu mengatakan, dengan rencana somasi tersebut akan semakin menunjukkan bahwa SBY sebagai Presiden dua periode itu memang sepertinya tak punya niat baik dan keseriusan untuk membantu KPK dalam hal pemberantasan korupsi.

“Harusnya bukan somasi yang ia (SBY) layangkan, tetapi surat pengunduran diri karena lebih cenderung berusaha menyelamatkan partainya daripada membuat gebrakan besar untuk kesejahteraan rakyat. Lihat saja sekarang ekonomi masih sakit dan tak kunjung pulih, nilai rupiah anjlok, utang negara menggunung, defisit keuangan negara yang terus minus, pengangguran bertambah, korupsi merajalela, pemadaman listrik yang masih terus terjadi, anak-anak sekolah menyeberang jembatan rusak, dan lain sebagainya. Mengapa bukan semua itu yang dibenahi agar Rizal Ramli dan tokoh oposisi lainnya bisa berbalik mendukung pemerintahan saat ini..???” jelas Muis.

Olehnya itu, menurut Muis, jika Rizal Ramli melontarkan kritik, maka harusnya SBY bergegas memperlihatkan kinerja yang baik sebagaimana yang diharapkan oleh seluruh rakyat Indonesia, sekaligus membuktikan bahwa pasangan SBY-Boediono memang patut disebut pemimpin. “Tapi kenyataannya sekarang rakyat tidak tahu kinerja hebat seperti apa yang telah dilakukan oleh SBY-Boediono? Rakyat hanya tahu ada kenaikan harga BBM, serta ada BLSM. Dan rakyat hanya mendengar bahwa istana saat ini sedang disebut-sebut sebagai sarang korupsi, baik yang terlontar dari kesaksian di pengadilan maupun yang disuarakan melalui aksi-aksi demo dari mahasiswa dan LSM. Lalu salahkah jika Rizal Ramli sebagai tokoh oposisi melempar bola panas yang memang telah menggelinding di tengah-tengah masyarakat…???” pungkas Muis yang juga pernah menggeluti dunia jurnalistik di Jawa Pos Grup itu.(map/ton)

Senin, 09 Desember 2013

Tuan Presiden, Saya Menangis Menulis Artikel ini

Dikeroyok (Sumber: yustisi.com)
[RR1online]:
WAHAI Tuan Presiden, dan para pejabat negara beserta para elit parpol yang saat ini disorot terindikasi sebagai “perampok” uang rakyat.

Tahukah kalian, bahwa rakyatmu kini sedang kelaparan, haus, karena terhimpit ekonomi mereka pun tak mampu lagi berpikir jernih, hingga banyak yang terpaksa mencuri demi mempertahankan hidup?

Akibat dari kelaparan dan kehausan, mereka menjadi bodoh dan sulit menahan diri. Lalu mereka pun saling memangsa dan membunuh satu sama lain.

Saya sangat sedih mengetahui peristiwa yang menimpa Ngadimun (45), warga Dusun Kadisono, Desa Guwosari, Kecamatan Pajangan, Bantul. Gara-gara ayam, nyawanya melayang.

Dia dileroyok warga hingga babak belur setelah ketahuan mencuri ayam di Pedukuhan III Gelaran, Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Jumat (6/12/2013) dinihari.

Meski Ngadimun berusaha kabur dan bersembunyi di areal persawahan, namun warga tetap mengepungnya di persawahan, hingga Ngadimun akhirnya keluar dari persembunyiannya dan angkat tangan  lalu menyerahkan diri.

Namun sungguh biadab, warga itu lebih menghargai nyawa ayam daripada nyawa seorang manusia. Ngadimun yang sudah menyerah langsung dikeroyok babak belur oleh warga dengan cara main hakim sendiri hingga nafas Ngadimun pun terputus seketika.

Wahai Tuan Presiden, dan para pejabat negara beserta para elit parpol, saya menangis menulis artikel ini. Sebab ini adalah bukti, bahwa rakyat yang telah bersembunyi DALAM GELAP karena mencuri ayam masih dapat tertangkap, lalu mati. Tetapi koruptor yang bersembunyi DALAM TERANG-BENDERANG, di atas meja pula, hingga kini masih juga belum tertangkap. Bahkan masih bebas menikmati hasil jerih payahnya sebagai koruptor perampas hak-hak rakyat.

Selamat hari Anti-Korupsi sedunia, 9 Desember 2013.
---------
Sumber: Kompasiana

Kamis, 05 Desember 2013

SBY Tak “Berbudi”, Budi Tak “Bermulia” (Centurygate)

[RR1online]
KASUS Bailout Bank Century (Centurygate) sungguh sangatlah menyita perhatian masyarakat, dan tentu meresahkan pula. Sebab, kasus yang menyedot uang negara 6,7 Triliunan Rupiah itu, hingga kini belum jua dapat diketahui kapan ujungnya. Bukti bahwa gigi KPK masih tumpul.

Padahal sejauh ini,  sumber “bau busuk” centurygate serta kasus korupsi lainnya sudah sangat jelas tercium dan tersebar ke mana-mana hingga mengundang dugaan yang mengarah kepada para petinggi di negeri ini. Bahkan sangat besar dugaan, bau busuk yang menyengat itu berasal dari istana.

Meski dinilai sangat lambat, tetapi KPK sebetulnya sudah memperlihatkan perkembangan dari proses kasus Century ini sedikit demi sedikit. Yakni telah berhasil ditetapkannya dua tersangka, masing-masing adalah anak buah Boediono saat masih sama-sama di Bank Indonesia (BI), yaitu Budi Mulya dan Siti Fajriah. Budi Mulya kini telah di bui, sementara Siti Fajriah masih stroke sejak Bank Century ini resmi menjadi kasus.

Walau anak buahnya sudah dalam kondisi seperti itu, Boediono malah masih sempat menyatakan bahwa apa yang dilakukannya pada 2008 silam itu adalah merupakan “Tindakan Mulia”.

Banyak orang yang kurang paham dengan tindakan mulia apa yang dimaksud Boediono? Sebab, kenyataannya, banyak misteri dan keanehan yang mewarnai proses penanganan Bank Century tersebut hingga kepada pencairannya. Termasuk mengalir ke mana uang negara yang telah dicairkan itu?

Atau apa mungkin yang dimaksud Boediono sebagai tindakan mulia itu adalah mengarah kepada sebuah nama sebagai pelaku yang melakukan tindakan atas kasus tersebut? Artinya, tindakan “mulia” = pekerjaan yang hanya dilakukan Budi “Mulya”..? atau mungkin ada nama lain yang identik dengan kata “mulia”…?

Entahlah..? Yang jelas, oleh banyak pihak, Boediono dinilai telah mencoba melakukan upaya pembelaan diri (cuci-tangan) dan seakan-akan yang bersalah adalah bukan dirinya, tetapi orang lain.

Sayangnya, upaya “cuci-tangan” yang coba dilakukan Boediono itu dinilai tidak realis. Sebab, sangat tidak logis dan sama sekali tidak mulia jika Boediono ketika itu sebagai Gubernur BI kini berhasil menikmati jabatan sebagai Wapres, sementara yang harus menanggung seluruh risikonya adalah para anak buahnya. Sungguh kasihan dan memprihatinkan jika punya pimpinan seperti itu…!?!

Boediono Sudah Pernah Coba “Merampok Bank”
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla secara tegas telah menyatakan, bahwa kasus Bank Century tersebut adalah merupakan perampokan uang negara.

Dan secara gamblang mantan Menko Perekonomian, Rizal Ramli, pun dengan tegas dan terang-terangan menyebut Boediono (yang kala itu sebagai Gubernur BI) telah pernah (sebelum Bank Century) melakukan percobaan perampokan Bank Indover, namun gagal.

Begini ceritanya. Saat menjabat sebagai Gubernur BI tahun 2008, Boediono pernah minta izin kepada DPR dan KPK untuk melakukan bailout terhadap Bank Indover (Bank milik Pemerintah Indonesia di Belanda).

Saat itu, kata Rizal, Boediono telah mempresentasikan di hadapan DPR soal dampak ekonomi jika Bank Indover tak disuntik Rp.5 Triliun. “Jika Indover tidak di suntik Rp 5 triliun, kepercayaan investor rontok, arus modal asing berkurang, gonjang ganjing tukar rupiah. Itu yang diungkapkan Boediono (ke DPR),” ungkap Rizal Ramli saat menghadiri sebuah diskusi di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (29/11).

Setelah dari DPR, kata Rizal, Boediono kemudian menemui Ketua KPK saat itu Antasari Azhar. Sayangnya, KPK tak mengizinkan. Antasari malah berjanji akan menangkap Boediono jika BI benar-benar mem-bailout Indover. “..(Boediono) datang menemui Antasari, minta izin agar diperkenankan mem-bailout Bank Indover Rp 5 triliun. Dia (Boediono) lupa kalau Antasari mantan asisten Jaksa Agung Marzuki Darusman, waktu itu Indover bermasalah, dan Marzuki pergi ke Belanda untuk cek, aspek kriminal. Kalau kolaps bisa berdampak enggak ke Indonesia,” ungkapnya.

Lebih jauh, Ketua Umum Kadin ini menceritakan, kala itu gubernur Bank Belanda menyatakan jika Indover ternyata sudah ditangani oleh pemerintah Belanda. Jadi tidak akan berdampak pada Indonesia kalau pun bank tersebut collapse. “Gubernur Central Bank Belanda bilang enggak ada apa-apanya karena ini sudah dijamin,” ungkapnya.

Sehingga jika Bank Indover dihubungkan dengan kasus Bank Century, maka menurut Rizal, ide mem-bailout Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun sebetulnya hanya bohong belaka. Sebab Boediono kala itu gagal merampok Bank Indover.

“Ide bailout Century itu bohong, ia (Antasari) mengancam jika pak Boediono suntik Rp 5 triliun saya akan langsung tangkap. Batal gunakan Bank Indover. Dua minggu kemudian ada ide nambal bank bocor lagi, Bank Century. Akhirnya disuntik Rp 6,7 triliun,” ujar Rizal Ramli mengungkapkan sikap tegas Antasari ketika itu.

Sehingga itu, Rizal Ramli menduga kuat, bailout Century itu sebetulnya hanya digunakan untuk dana kampanye di 2009. Menurut dia, sumber dana politik itu salah satunya dari perampokan bank.

Selaku salah satu anggota Gerakan Indonesia Bersih (GIB), Rizal Ramli, bahkan mengurai, bahwa ada tiga cara mengumpulkan uang yang biasa dilakukan oleh penguasa yang ingin kembali berkuasa dalam pemerintahan. Setelah terkumpul, uang tersebut akan digunakan sebagai dana kampanye. Yaitu, dari kegiatan impor, perizinan, dan perampokan bank. “Uang, dana politik itu dihasilkan dari impor pangan, impor beras, impor kedelai, migas, distribusi perizinan dan ketiga dari perampokan bank,” pungkasnya.

Apa yang diungkapkan Rizal Ramli ini sebetulnya bisa menjawab pertanyaan tentang mengapa harus Boediono yang ditunjuk sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) pada Pilpres 2009 itu. Dan sekaligus menjawab mengapa Jusuf Kalla (JK) seakan-akan tak dibutuhkan lagi berdampingan untuk kedua kali dengan SBY?
Secara logika pun bisa ditemukan jawabannya. Bahwa Boediono ditunjuk sebagai Cawapres, boleh jadi karena memang sebagai “balas budi” atau gratifikasi karena telah berhasil “menyedot” uang negara melalui Bank Century sebagai “pipet (alat) sedotannya”.

Dikutip Metrotvnews. Rizal Ramli mengungkapkan bahwa sebenarnya ada sembilan orang nama yang akan digodok sebagai cawapres SBY pada 2009, dan tidak ada nama Boediono. Tetapi, ketika dana talangan tersebut sukses, maka muncullah nama Boediono untuk menjadi cawapres SBY.

Lalu pertanyaan mengenai mengapa JK tak dibutuhkan lagi, padahal publik tahu persis bahwa ATM (Anggaran Tunjangan Menang) pada Pilpres 2004 paling banyak berasal dari kantong JK? Jawabnya, juga boleh jadi karena Boediono saat itu telah mampu menyiapkan dana dari hasil “perampokan” Bank Century tersebut.

Artinya, jika saja Boediono tak berhasil mem-bailout Century, maka SBY rasa-rasanya tidak akan memilih Boediono “secara gratis” untuk jadi Cawapres 2009. Sebab, bukankah jika menggelar kampanye pasangan pilpres itu sangat membutuhkan dana yang tidak sedikit?

Pihak-pihak yang Harus Bertanggungjawab
Dikutip dutaonline. Para pakar hukum mengingatkan, ada tiga lembaga yang bertanggung jawab dalam kasus bailout Bank Century. Ketiga lembaga itu adalah Bank Indonesia yang saat itu dipimpin Boediono, LPS yang bertanggung jawab kepada Presiden dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pimpinan Sri Mulyani. Khusus LPS, pada akhirnya yang bertanggung jawab adalah Presiden SBY.

Bahkan dengan sangat tegas, Ketua DPP Partai NasDem Akbar Faizal juga mengatakan, Presiden SBY merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam kasus bailout Bank Century. Sebab, SBY sebagai kepala negara dianggap mengetahui aliran dana bailout Century Rp6,7 triliun itu. “Presiden (SBY) adalah penanggung jawab keuangan negara. Presiden pasti tahu dan harus tahu soal Century. Jangan pura-pura bodoh. Saya marah!” kata inisiator Pansus Bank Century Akbar dalam status BBM-nya.

Menyikapi seluruh uraian tersebut di atas, maka bisa dikatakan bahwa saat ini Boediono sedang cuci-tangan dan SBY pun akan coba lepas tangan. Dan mungkin seperti itulah yang sedang ingin dilakukan oleh kedua orang yang telah diambil sumpahnya sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2009-2014 itu.

Jika seandainya KPK benar-benar berani menetapkan Boediono sebagai tersangka, lalu SBY kemudian akan coba lepas tangan ketika diketahui bahwa Boediono ketika itu diduga sebetulnya hanya sebagai “aktor pengganti” dalam menggaet dana melalui Century, maka patut disebut SBY tak lagi “berbudi”.

Heran juga saya, kok kasus Bank Century ini cuma lebih banyak “melibatkan” nama “Budi dan Mulia” (Mulya), yaa.. (tersangka maupun saksi)??? Mulai dari Budi Mulya, Boediono (Budiono), Sri Mulyani, Budi Sumanto, Muliaman. Serta ada Budi yang kedua-duanya telah meninggal dunia dan sangat mengetahui kasus Century ini, yaitu Budi Rochadi (mantan Deputi Gubernur BI) dan Budi Sampoerna (Mantan Komisaris PT. HM Sampoerna Tbk). Sampai-sampai pernah pula muncul nama jargon pada pilpres 2009: “SBY-Berbudi”. Apakah karena memang orang yang terlibat dalam kasus Bank Century itu benar-benar telah berbudi dan bermulia…??? Hanya KPK yang bisa menjawabnya. Semoga KPK tidak menunda-nunda lagi prosesnya…!!!

Dan maaf jika semua itu ternyata benar adanya..!!!

SALAM PERUBAHAN…!!!!!
------
*Sumber: kompasiana

Jumat, 29 November 2013

Rizal Ramli: Boediono tidak Ksatria, Membiarkan Anak Buah Dipenjara dan Stroke

Jakarta, [RR1online]:
TIDAK ada prajurit yang salah, yang salah adalah komandannya”. Itulah prinsip kemuliaan di dunia militer. Bukan komandan militer (atasan) namanya jika tidak menganut prinsip tersebut. Dan begitu pun yang seharusnya secara mulia diterapkan di dunia pemerintahan.

Masih ingat dengan peristiwa penyerangan Lapas Cebongan? Tentulah! Bahkan dengan sikap ksatria sejumlah anggota Kopassus Grup II Kandang Menjangan Kartosuro telah mengakui perbuatannya sebagai pihak yang melakukan penyerang Lapas di Sleman, Yogyakarta.

Namun sebelumnya, Danjen Kopassus Mayjen TNI Agus Sutomo pernah menyatakan, bahwa 11 tersangka penyerangan LP Cebongan adalah anggotanya dan sebagai komandan, dia paling bertanggung jawab. “Yang jelas 11 orang itu adalah anak buah saya dan sayalah atasannya, Mayjen TNI Agus Sutomo,” kata Agus di Markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur. Seperti dikutip detik.com. Seraya menambahkan, bahwa orang yang paling terdepan bertangung jawab di institusi Kopassus ini adalah dirinya.

Menanggapi pengakuan anggota Kopassus dan sikap Agus tersebut, mantan Asisten Teritorial Kepala Staf TNI AD,  Mayor Jenderal (Purn) Saurip Kadi menilai, tindakan seperti itulah yang seharusnya ditiru para koruptor, yakni mengakui kesalahan dengan penuh sikap ksatria.

“Menurut saya, sikap ksatria Kopassus muda ini perlu ditiru oleh para koruptor, oleh para penyelenggara negara yang telah salah menyelenggarakan kekuasannya demi kepentingan sendiri dan kelompoknya, sehingga negara ini amburadul,” tutur Saurip, seperti dilansir tribunnews.

Saurip mengimbau sebaiknya koruptor mengaku saja, sebab perbuatan mereka telah merusak masa depan generasi muda. “Ketika berbuat salah, segera mengaku untuk kepentingan anak-anak kita, cucu kita, dan masa depan. Jadilah seperti mereka. Itulah yang aku kagum dari 11 anggota Kopassus muda,” paparnya.

Lalu bagaimana dengan kasus Bank Century? Hehehee… Sungguh sangat jauh.. jauh sekali!
Seusai diperiksa dan dimintai keteranganya oleh KPK, Boediono malah berusaha tampil berwajah “suci” dengan menunjuk bahwa yang dilakukannya itu adalah sebuah tindakan mulia.

Tindakan mulia yang dimaksud adalah karena telah melakukan “penyelamatan” sehingga Indonesia tidak diporak-porandakan oleh krisis ekonomi.

Terus terang, saya sangat geli mendengar pernyataan Boediono yang menyebutkan bahwa yang dilakukannya saat itu adalah tindakan mulia.

Saya pasti sependapat dengan Boediono apabila langkah penyelamatan yang dimaksud itu tidaklah memakai uang negara sampai triliunan rupiah, seperti yang pernah dilakukan oleh Rizal Ramli saat menyelamatkan BII saat menjabat Menkeu, Juli 2001 silam. Tetapi jika penyelamatan itu dilakukan dengan memakai uang negara yang sangat besar, maka siapa pun yang menjadi Gubernur BI saat itu pastilah mampu.

Apalagi dengan mengetahui akibat tindakan mulia yang telah dilakukannya itu, nyatanya hanya membuat sejumlah pihak terpaksa menjadi korban. Di antaranya,  terdapat dua anak buah Boediono (saat menjabat Gubernur BI) sudah jadi tersangka, yakni mantan Deputi Bidang Moneter  Budi Mulya yang kini telah mendekam di penjara, serta  mantan Deputi Bidang Pengawasan Siti Fajriah yang saat ini malah sedang terkapar sekarat karena sakit stroke.

Itukah yang dimaksud sebagai sebuah kemuliaan? Dan apakah KPK juga akan ikut sepakat menunjuk hal itu sebagai tindakan mulia dari seorang Gubernur BI yang digaji oleh negara hingga sekitar Rp. 150 juta perbulan? (Gaji Gubernur BI sekarang -2013 hampir Rp.200 juta perbulan, dan itu baru gaji pokok, belum ini-itu dan lain sebagainya).

Menanggapi pernyataan Boediono seusai diperiksa KPK atas kasus Century tersebut, Rizal Ramli geleng-geleng kepala dan menyebut pernyataan seperti itu hanya dilontarkan oleh pemimpin yang berjiwa buruk dan tidak ksatria.

Rizal Ramli menilai, Boediono berusaha cuci tangan, seolah-olah dirinya tidak mengetahui soal pembengkakan dana talangan untuk Bank Century dengan mengemukakan alasan, bahwa itu adalah kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Pengawas Bank.

“Pak Boediono bersikap ksatrialah, sebagai orang Jawa. Malu, anak buah sudah dipenjara padahal nggak ngerti apa-apa. Kasihan Ibu Siti Fajriah sebagai Deputi Gubernur paling jujur sampai kena stroke,” ajak Rizal Ramli,

Rizal Ramli yang pernah menjabat Menko Perekonomian di era Presiden Gus Dur itu menyebutkan, sebagai orang yang pernah di dalam birokrasi, dirinya tahu persis, bahwa keputusan strategis selalu pimpinan yang ambil. “Anak buah hanya dimintai pendapatnya, dan biasanya mereka hanya perbaiki plus minusnya. Dan yang mengambil keputusan adalah pemimpinnya,” ujar Rizal Ramli. Seperti dilansir Aktual.co. Lalu kenapa anak buah yang harus dikorbankan..???

Sehingga itu, Rizal Ramli mengimbau, sudah waktunya Boediono mengaku dan bersikap ksatria. “Laksanakanlah ajaran luhur kebudayaan Jawa tentang sikap kejujuran dan sikap kesatria,” imbuh Rizal.(map/ams)

Kamis, 28 November 2013

Alasan Mengapa Boediono Cs “Harus” Membohongi JK

Jakarta, [RR1online]:
TENTU saya sudah dibohongi”. Demikian kurang lebih yang dilontarkan Jusuf Kalla (JK) menjawab pertanyaan Karni Ilyas yang menghubunginya via telepon dalam acara Indonesia Lawyers Club, Selasa malam (26/11/2013).

Lalu pertanyaannya, mengapa atau alasan apa sebetulnya JK “harus” dibohongi oleh Boediono, Sri Mulyani beserta Cs ketika itu?

Sebelum menjawabnya dari hasil analisa dan pengamatan yang sangat mendalam, maka mari kita perhatikan 3 (tiga) keganjilan yang mewarnai kasus bail-out Bank Century di sekitar 5 (lima) tahun silam itu.

Bahwa, Wakil Presiden RI periode 2004-2009 Jusuf Kalla (JK) pun telah mengungkapkan ada beberapa hal aneh dan ganjil dalam pengambilan keputusan bail-out Bank Century. Keanehan dan keganjilan itu diakuinya juga secara resmi telah disampaikan saat dirinya diperiksa oleh KPK, Kamis (21/11/2013).

Dari berbagai sumber, berikut ini adalah 3 (tiga) keanehan dan keganjilan yang diungkapkan JK, yakni:

1. Bank Century gagal hanya Miliaran, tapi ditalangi Triliunan

JK mengaku tidak habis pikir, kenapa Bank Century diberikan bailout sampai triliunan rupiah. Dana Bank Century yang mengalami kegagalan hanya Rp.630 Miliar, tapi diberi bailout Triliunan Rupiah secara bertahap beberapa kali sampai mencapai total Rp6,7 Triliun.

“Yang aneh sebenarnya bahwa ada bank gagal, gagalnya Rp.630 miliaran, tapi dalam waktu 3 hari dibayar Rp.2,5 Triliun,” ucap JK usai menjalani pemeriksaan.

2. Keputusan diambil hanya dalam beberapa jam

JK mengungkapkan, dirinya menerima laporan tentang Bank Century dari Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono dalam satu rapat pada 20 November 2008 sore.

“Ibu Sri Mulyani dan Boediono (saat itu) semua sepakat dan menjelaskan bahwa tidak ada krisis ekonomi. Tidak ada itu. Semua aman. Satu per satu,” katanya.

Beberapa jam kemudian, lanjut JK, mereka rapat di Kementerian Keuangan, dan pada 21 November 2008 ‘subuh’ tiba-tiba memutuskan adanya satu bank gagal berdampak sistemik yang membahayakan perekonomian Indonesia.

“Saya enggak tahu kenapa malam-malam (rapatnya),” ujarnya.

3. Proses Pengucuran Dana tidak transparan, dan terkesan main kucing-kucingan

JK merasa dirinya ketika itu menjadi pihak yang paling bertanggungjawab menjalankan pemerintahan, karena Presiden SBY kala itu sedang berada di luar negeri.

JK mengaku tidak diberitahu (tidak disampaikan) dan dilibatkan dalam rapat pengambilan keputusan tentang status Bank Century. Ia (cuma) diberitahu bahwa sudah ada rapat dan pengucuran dana dilakukan pada 25 November 2008 malam oleh Sri Mulyani dan Boediono.

JK tidak mengetahui pihak yang bertanggung jawab dalam penggelontoran dana bailout dan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP).

JK mengungkapkan dirinya tidak ikut dalam semua rangkaian rapat yang diselenggarakan oleh Dewan Gubernur BI maupun rapat yang digelar oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

JK juga mengatakan bahwa pada waktu itu tidak ada yang namanya bank gagal akibat dari krisis perbankan.
Demikian keanehan dan keganjilan versi JK yang dilakukan oleh Boediono Cs ketika itu terhadapnya.

Dan mari kita cermati satu-persatu dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan, lalu coba dianalisa secara logis (dengan merujuk berbagai sumber) dalam menjawabnya.

Bahwa, mengapa Bank Century diberikan bailout sampai triliunan rupiah, sementara dana bank Century yang mengalami kegagalan hanya Rp.630 Miliar?

Jawabnya, yang selebihnya boleh jadi dialirkan sebagai  injeksi ke “tubuh” Partai Demokrat agar dapat menjadi segar, kekar dan lebih berotot guna menaklukkan lawan-lawannya dalam pertarungan  politik di Pemilu 2009. Termasuk adalah untuk menaklukkan JK, minimal untuk tidak berpasangan kembali dengan SBY, lalu sebagai gantinya adalah Boediono. Dan tanpa disadari, hal ini tidak mampu dibaca oleh JK ketika itu.

Jawaban di atas adalah sekaligus menjawab pertanyaan lainnya, yakni mengapa Sri Mulyani dan Boediono Cs sepakat mengatakan “aman” tidak ada krisis ekonomi kepada JK saat itu. Serta, mengapa proses pengucuran dananya tidak transparan, dan terkesan main kucing-kucingan?

Karena menurut JK, pada rapat yang digelar hingga dini hari, mereka malah memutuskan mengambil kebijakan bail-out untuk Bank Century dengan alasan demi penyelamatan negara atas krisis ekonomi akibat adanya bank gagal berdampak sistemik.

Kesimpulannya, bahwa dengan memperhatikan dan mencermati keanehan dan keganjilan yang telah dikemukakan JK, maka keanehan dan keganjilan tersebut adalah sebetulnya boleh jadi memang sudah diskenariokan sebagai upaya untuk “menendang dan melempar” JK keluar dari lingkaran kekuasaan.

Sebab, aneh bin ajaib kiranya jika seorang Boediono (yang tak punya partai) ternyata mampu dipilih menjadi cawapres 2009 ketika prestasi terakhirnya adalah karena dianggap melakukan tindakan mulia, yakni berhasil menyelamatkan krisis ekonomi melalui bailout kepada Bank “kecil” Century, yang pada kenyataannya bank ini malah menjadi kasus perampokan uang negara. Anehkan? Yang ada dan yang muncul justru hanya Boediono yang berhasil menjadi Wapres, sementara uang (bail-out) itu tidak tahu menguap ke mana?  “Apalagi namanya kalau bukan gratifikasi jabatan,” lontar Rizal Ramli, satu-satunya Capres 2014 yang paling tegas melawan korupsi.>map/ams

Boediono Harusnya Sudah Jadi “Kado” Ultah ke-5 Kasus Bank Century

[RR1online]:
MASALAH Bank Century kini sangat identik dengan nama Boediono. Artinya, jika mendengar kata Century maka yang terbayang di benak adalah sosok Boediono dan Sri Mulyani. Sehingga kedua sosok tersebut saat ini seakan sudah menjadi sebuah “branding” ketika membahas masalah bank yang telah berubah nama menjadi Bank Mutiara itu.

Pembahasan dan penanganan masalah bail-out Bank Century ini sudah sangat panjang, dan sungguh sudah amat melelahkan. Padahal substansi objek masalahnya sangat sederhana dengan bukti-bukti yang sudah dikumpulkan, serta siapa-siapa yang patut ditunjuk hidungnya sebagai perampok uang negara melalui bank tersebut juga sudah sangat jelas.

Padahal pula, tanpa dukungan hasil sadapan badan-badan intelijen asing, termasuk Australia yang konon sudah diserahkan ke KPK, dengan hasil forensik BPK saja sesungguhnya KPK sudah punya lebih dari cukup data untuk menangkap Boediono, Sri Mulyani dan bahkan SBY.

Sayangnya, yang terlibat dalam masalah tersebut bukanlah rakyat jelata. Coba kalau rakyat jelata?! Maka tentu persoalannya tidak serumit seperti saat ini. Itulah wajah hukum di negeri ini. Meski Abraham Samad selaku Ketua KPK telah mengatakan bahwa Boediono juga rakyat biasa, namun pada kenyataannya gigi KPK masih sulit mengunyah masalah ini karena Boediono saat ini masih terbungkus baju tebal Wakil Presiden.

Boediono memang telah diperiksa dua kali, itupun masih sebagai saksi. Dan kedua-duanya tidak dilakukan di kantor KPK seperti yang harus diberlakukan kepada para saksi ataupun tersangka kasus korupsi lainnya. Memang pemeriksaan di luar kantor KPK ini tidaklah terlalu masalah, tetapi tetap saja image publik mengarah bahwa masih terjadi diskriminasi dalam proses hukum di negeri ini. Saya tidak tahu, apakah KPK menerapkan taktik “pura-pura menunduk, tetapi menanduk” atau justru KPK hanya bagai kura-kura dalam perahu..?

Pemeriksaan pertama, Boediono telah diperiksa pada akhir April 2010. Kala itu, kasus Bank Century yang mengucurkan anggaran negara sebesar Rp 6,7 triliun itu masih dalam tahap penyelidikan. Dan pada awal Desember 2012, KPK telah menetapkan dua tersangka dalam kasus ini, yakni mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Pengelolaan Devisa Budi Mulya dan Deputi Guberur Bank Indonesia Bidang Pengawasan Bank Siti Chalimah Fadjrijah.

Di awal tahun 2010, DPR sebetulnya telah menjalankan tugasnya, membentuk Panitia Khusus (Pansus) yang bekerja keras selama tiga bulan untuk mengusut megaskandal yang melibatkan sejumlah pejabat tinggi itu, Boediono dan termasuk mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang kini memilih bekerja untuk Bank Dunia, serta pejabat negara lainnya.

Apalagi palu telah diketuk dalam rapat paripurna DPR, malam 3 Maret 2010 lalu. Saat itu, sebanyak 285 anggota (57 persen) DPR menyatakan bahwa bailout yang dikucurkan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk Bank Century atas usul dari BI adalah MELANGGAR sejumlah aturan hukum. Sementara 212 anggota (43 persen) menyatakan hal sebaliknya.

Dan tentu saja Boediono merupakan figur sentral dan paling menentukan di balik skandal dana talangan senilai Rp 6,7 triliun itu. Ia adalah pihak yang paling ngotot mengusulkan agar Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang secara ex officio dipimpin mantan Menteri Keuangan yang kini bekerja untuk Bank Dunia, Sri Mulyani, memberikan status baru kepada Bank Century, yakni “Bank Gagal Berdampak Sistemik”.

Selain itu, Boediono juga mengusulkan agar KSSK mengucurkan dana talangan sebesar Rp 632 miliar untuk mendongkrak rasio kecukupan modal bank itu.

Seperti dilansir teguhtimur.com. Usul dan sikap ngotot Boediono ini dipertontonkannya dalam rapat konsultasi, yang digelar mendahului Rapat KSSK menjelang tengah malam 20 November 2008. Di dalam rapat yang dihadiri oleh sejumlah pejabat otoritas keuangan Indonesia, Boediono meminta agar Bank Century yang beberapa saat sebelum itu, yakni dalam rapat terpisah di BI, ditetapkan sebagai “Bank Gagal yang Ditengarai Berdampak Sistemik” lalu secepat kilat bisa disepkati sebagai “Bank Gagal Berdampak Sistemik”.

Jejak sikap ngotot Boediono dapat ditelusuri dari transkrip rekaman pembicaraan dalam rapat konsultasi dan dokumen resmi notulensi rapat konsultasi. Dan kedua dokumen ini beredar luas di masyarakat akhir tahun 2009 lalu.

Dalam dokumen setebal lima halaman itu disebutkan bahwa rapat yang dipimpin Ketua KSSK Menkeu Sri Mulyani dibuka sebelas menit lewat tengah malam tanggal 21 November 2008. Juga disebutkan bahwa rapat digelar khusus untuk membahas usul BI agar Bank Century yang oleh BI diberi status “Bank Gagal yang Ditengarai Berdampak Sistemik” dinaikkan statusnya menjadi “Bank Gagal yang Berdampak Sistemik”, kalimat ditengarainya pun sudah hilang.

Setelah dibuka, Boediono diberi kesempatan untuk mempresentasikan permasalahan yang sedang dihadapi PT Bank Century Tbk. Kala itu Boediono menilai, selain harus dinaikkan statusnya menjadi “Bank Gagal yang Berdampak Sistemik”, Bank Century juga perlu dibantu dengan dana segar sebesar Rp 632 miliar untuk mendongkrak rasio kecukupan modal menjadi positif 8 persen.

Menyikapi presentasi Boediono, Sri Mulyani mengatakan bahwa reputasi Bank Century selama ini, sejak berdiri Desember 2004 dari merger Bank Danpac, Bank CIC, dan Bank Pikko, memang sudah tidak bagus. Setelah itu, Sri Mulyani memberi kesempatan kepada peserta rapat yang lain untuk memberikan komentar atas saran Boediono.

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menolak penilaian BI tersebut. Menurut BKF, “analisa risiko sistemik yang diberikan BI belum didukung data yang cukup dan terukur untuk menyatakan bahwa Bank Century dapat menimbulkan risiko sistemik. Menurut BKF, analisa BI lebih bersifat analisa dampak psikologis.”

Sikap Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) pun hampir serupa. Dengan mempertimbangkan ukuran Bank Century yang tidak besar, secara finansial Bank Century tidak akan menimbulkan risiko yang signifikan terhadap bank-bank lain, apalagi jika dikatakan akan menimbulkan efek domino. “Sehingga risiko sistemik lebih kepada dampak psikologis.”

Namun, Boediono tetap bertahan pada pendapatnya. Yang pada akhirnya, ia pun “memenangkan pertarungan”, karena di dalam Rapat KSSK yang digelar setelah rapat konsultasi dan berlangsung tertutup, Sri Mulyani akhirnya setuju untuk mengikuti saran Boediono.

Sejak skandal ini terbongkar, Boediono adalah pihak yang dianggap paling bertanggung jawab. Benar, bahwa keputusan bailout keluar dari lembaga yang dipimpin Sri Mulyani. Tetapi, dengan asumsi bahwa keputuan KSSK itu didasarkan pada rekomendasi BI, maka dapat dipahami bila ada pihak yang mengatakan bahwa Boediono memberikan assessment yang salah yang berakibat pada pengambilan keputusan yang salah pula.

Ibarat kata: garbage in, garbage out. Semuanya sudah terjadi, lalu terciumlah kebusukan para perampok uang negara itu.

Sebelum terbentuknya Pansus Centurygate di DPR, Sri Mulyani sebetulnya sempat menyesal dan mengatakan bahwa dirinya merasa tertipu oleh presentasi Boediono. Dari situlah Boediono menjadi sasaran yang paling empuk. Kesalahannya sangat kentara “di kening” dan terang benderang.

Sejumlah informasi panas dan desakan dari Rizal Ramli selaku tokoh oposisi bersama Jusuf Kalla serta para ormas anti-korupsi lainnya, selama ini boleh dikata berhasil mendobrak dan mengajak KPK agar tidak segan-segan untuk segera menuntaskan masalah bail-out Bank Century tersebut.

Kita mulai dari perjuangan Rizal Ramli yang sangat gencar menyerukan agar masalah Bank Century tersebut segera dituntaskan. Rizal Ramli mengaku tidak ingin Masalah Bank Century terus dilarut-larutkan dari tahun ke tahun tanpa ujung yang jelas.

Selaku Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARuP), Rizal Ramli tak henti-hentinya meneriakkan bahwa kasus Century merupakan kejahatan yang motifnya bukan melulu uang seperti korupsi yang dilakukan sekelas kepala daerah (gubernur, atau bupati). Menurutnya, kasus Century adalah kejahatan kerah putih yang motifnya adalah kekuasaan.

“Boediono kan jelas, awalnya tidak masuk daftar satu dari sembilan cawapres yang sudah dilist SBY, tapi begitu sukses menggolkan ini (bailout Century) langsung jadi cawapres. Lalu motif Sri Mulyani apa? tentu jabatan menkeu baru lagi,” kata Rizal Ramli. Seperti dikutip batampos.co.id.

Rizal Ramli sangat yakin, Sri Mulyani dan Boediono termasuk sebagai pelaku aktif. Dia mencontohkan kasus Bank Bali. Yakni Sahril Sabirin dijerat hukum hingga kemudian divonis bersalah dalam kasus tersebut, padahal dia (Sahril) tidak menerima uang sepeser pun. Sama seperti Boediono dan Sri Mulyani, Sahril dijanjikan jabatan, bahwa kalau berhasil keluarkan (mencairkan) dana talangaan untuk Bank Bali, maka akan diangkat kembali jadi gubernur bank central.

Dalam berbagai kesempatan, Sri Mulyani berkali-kali berkelit dan mengatakan bahwa proses bailout sudah sesuai prosedur. Menurut Rizal Ramli, itu jawaban tipikal birokrat, berkilah telah sesuai prosedur. “Pertanyaan saya, prosedur yang mana, wong jelas-jelas DPR hanya menyetujui Rp 1,3 triliun, tidak ada UU atau kesepakatan dengan DPR untuk mengajukan lebih lanjut. Dan mereka lakukan ini (bail-out) secara sembunyi-sembunyi, baru ketahuan oleh publik setelah beberapa bulan kemudian. Padahal, kalau betul sesuai prosedur, ngapain disembunyikan?,” lontar Rizal Ramli.

Sejak kasus Century ini mencuat, tidak sedikit pula demo atau aksi unjuk rasa yang telah digelar oleh berbagai kalangan seperti para ormas anti-korupsi dan juga para mahasiswa aktivis. Mereka semuanya mendesak KPK agar segera menangkap pelakunya. “Boediono dan Sri Mulyani bertanggung-jawab kasus bailout Bank Century, mereka masih bebas berkeliaran di luar sana,” tandas orator yang tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa seluruh Indonesia, saat berdemo di depan Gedung KPK, Senin (30/9/2013). Sepert dikutip skalanews.com.

Hal menarik yang harus jadi acuan bagi KPK sekaligus sebagai kunci pembuka tabir misteri masalah Bank Century tersebut justru berasal dari Jusuf Kalla (JK). Yakni JK mengaku sejak awal tidak pernah diberi laporan tentang kondisi seputar Bank Century.

JK menuturkan, kebijakan bailout Bank Century tidak wajar. Apalagi jika bailout dilakukan dengan dasar penetapan Bank Century sebagai bank gagal dan berdampak sistemik hingga diberikan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Indikasinya adalah Bank Century pada 2008 hanya memerlukan suntikan dana sekitar Rp 630 miliar namun, diberikan BI Rp 2,5 triliun lalu menggelembung menjadi Rp 6,7 triliun.

Selain itu, berdasarkan laporan yang dia (JK) terima dari Menkeu Sri Mulyani, rapat antara Menkeu dan Gubernur BI Boediono tidak menyimpulkan kalau Bank Century merupakan bank gagal berdampak sistemik yang dapat mengancam perekonomian Indonesia. Tetapi, tiba-tiba muncul kebijakan dari BI kepada Bank Century.

“Ibu Sri Mulyani, Pak Boediono sebagai gubernur dan menteri keuangan semua sepakat dan menjelaskan bahwa tidak ada krisis ekonomi kita Tapi, beberapa jam kemudian mereka rapat di Kementerian Keuangan dan subuh memutuskan adanya gagal sistemik satu bank yang membahayakan. Padahal sebenarnya itu tidak perlu,” katanya. Seperti dikutip suarapembaharuan.com.

Jusuf Kalla yang lebih dulu diperiksa sebagai saksi juga telah menyatakan hal tersebut kepada KPK. “Menteri Keuangan Sri Mulyani, Gubernur BI Boediono, dan beberapa menteri lain tidak menyebut ada krisis ekonomi. Semua sepakat dan menjelaskan tidak ada krisis. Aman,” kata JK.

Namun, kata JK, hanya berselang beberapa jam kemudian, Menkeu, Gubernur BI, dan sejumlah menteri menggelar rapat di Kantor Kemenkeu hingga subuh. Dalam rapat itu diputuskan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik yang harus diselamatkan agar tidak berimbas ke krisis ekonomi nasional.

Anehnya, pada pemeriksaan Boediono yang kedua kalinya, Sabtu (23 November 2013), Boediono malah menyatakan bahwa bailout Century adalah tindakan mulia untuk atasi krisis. Dan itu telah dilakukannya dengan tulus.

Boediono dalam konferensi persnya di kantor Wakil Presiden, Jakarta, menyatakan yakin bailout Century adalah hal yang benar. “Saya telah melakukan tanggung jawab saya waktu itu sebagai Gubernur BI. Saya laksanakan itu dengan segala ketulusan hati untuk menyumbangkan yang terbaik bagi bangsa,” kata dia. Seperti dikutip viva.co.id.

Artinya, Boediono sesungguhnya telah mengaku melakukan bailout kepada Bank Century, meski alasannya adalah karena ketika itu sedang terjadi krisis ekonomi.

Pernyataan Boediono ini tentu saja sangat bertolak-belakang dengan pernyataan JK. Tetapi bagaimana pun upaya Boediono untuk menyembunyikan sesuatu terhadap masalah ini, mata publik tetap mampu melihat adanya indikasi yang sangat jelas bahwa memang telah terjadi ketidakberesan atau kongkalikong antara Boediono, Sri Mulyani. Dan boleh jadi memang kongkalikong itu adalah untuk menyelamatkan sesuatu, dalam hal ini bukan untuk menyelamatkan Bank Century, tetapi boleh jadi lebih dominan adalah untuk menyelamatkan SBY agar dapat mengulang kesuksesannya sebagai penguasa untuk periode kedua.

Jika indikasi dan dugaan di atas benar sebagai upaya menyelamatkn SBY sebagai presiden periode kedua, maka ungkapan Rizal Ramli tidaklah meleset, bahwa jabatan Wapres yang dijabat oleh Boediono saat ini adalah merupakan bentuk gratifikasi karena telah berhasil melakukan sebuah “penyelamatan”.

Dan jika itu benar, maka Boediono seusai diperiksa kemarin harusnya sudah bisa menjadi “Kado” buat rakyat pada ultah ke-5 lahirnya kasus Bank Century 21 November 2008, yakni sebagai tersangka. Mampukah KPK..??? Kita tunggu hasilnya dalam waktu dekat ini…!!! Jika KPK tidak berani, maka lebih baik KPK yang jadi Kado Century, yakni bubarkan saja..!?! Rakyat capek nunggunya..!!!>map/ams

Rabu, 20 November 2013

SBY Koruptor (Patut Diduga). Apa Bedanya dengan Soeharto??

13849521341793826522

[RR1online]:
DI mana-mana, korupsi (nyolong dan merampok uang rakyat) memang adalah perbuatan yang sangat terkutuk dan tercela, karena sudah pasti hasil korupsi itu adalah bernilai HARAM.

Pemimpin atau pejabat yang gemar melakukan korupsi tidak hanya membuat negara jadi rusak, tetapi juga para pegiat korupsi itu sendiri. Katakanlah bisa terhindar dari jeratan hukum di dunia, tetapi yakinlah kalian tidak akan mungkin bisa lepas dari cengkeraman hukum di depan Sang Maha Pencipta lagi Maha Kuasa.

Sehingga itu, janganlah coba-coba ingin jadi pemimpin negara atau pejabat jika hanya tergiur melakukan korupsi. Jika itu yang terjadi, maka jabatan yang diemban sebagai pemimpin itu sesungguhnya bukanlah sebuah anugerah, tetapi malah akan menjadi musibah buat banyak orang dan juga menjadi malapetaka bagi diri sendiri.

Dan boleh jadi, kekacauan sebagai musibah atau pun malapetaka yang timbul secara bertubi-tubi yang mewarnai kehidupan di negeri ini saat ini, itu adalah akibat karena pemimpin di negeri kita adalah koruptor dan seorang pembohong besar.

Lihat saja, era Reformasi yang dibanggakan hingga detik ini ternyata hanya melahirkan koruptor-koruptor yang malah lebih kejam daripada koruptor di era Orde Baru (Orba). Gaya korupsi di zaman pemerintahan Soeharto masih lebih bisa disebut “beradab dan bermartabat” dibanding modus korupsi pemerintahan SBY yang amat licik karena dilakukan dengan cara “terima setoran” (baca sumber). Artinya, Indonesia memang berhasil keluar dari mulut anjing, tetapi masuk ke mulut Serigala Buas Yaaa...??

Jika demikian, era Reformasi saat ini harus segera ditumbangkan. Jika tidak, maka negara kitalah yang akan tumbang dan habis dilahap oleh para koruptor...!!!!! Ini fakta, bukankah negara kita saat ini sudah dikuasai dan bahkan diinjak-injak seenaknya oleh negara asing. Siapa yang membuat dan memberi kesempatan semua itu terjadi...???

Sungguh, setelah selama Reformasi bergulir, Bangsa ini ternyata belum bisa melepaskan diri dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Bahkan penyakit ini, malah semakin parah dan menjadi-jadi. Para pegiatnya adalah termasuk presiden (patut diduga) bersama gerombolannya, yakni menteri-menteri, anggota-anggota DPR; pejabat-pejabat tinggi, misalnya hakim mahkamah konstitusi, pengadilan, jaksa-jaksa, polisi-polisi, dan bahkan para sanak keluarga serta kroni penguasa dinasti. Demikian yang diungkapkan oleh mantan aktivis ITB, Ir.Abdulrachim Kresno, seperti dilansir voaislam.

Lalu apa bedanya dengan pemerintahan Soeharto? Mari kita simak penjelasan dari Rizal Ramli sebagai sosok mantan aktivis yang pernah dipenjara semasa mahasiswa karena menentang pemerintahan korup Soeharto di masa Orba.

Sebagaimana dilansir sorotnews, Rizal Ramli yang pernah menjabat sebagai Menko Perekonomian di era Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyebutkan, berbeda model atau pola kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh Presiden Soeharto dengan yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Menurutnya, kalau Soeharto masih ada nilai positifnya, yakni nilai tambah dengan membuka lapangan kerja, pemberdayaan pembangunan pertanian (masih ingat “Kelompencapir”?). Tapi sebaliknya, SBY sama sekali tanpa nilai tambah.

“Ada perbedaan fundamental pola KKN yang dilakukan oleh Soeharto dan SBY. Kalau Soeharto dengan memberi berbagai fasilitas, proteksi, tarif, kredit, dan membangun berbagai jenis industri sekaligus memilki nilai tambah dengan membuka lapangan kerja,” ungkap Rizal Ramli pada wartawan di Jakarta, Selasa (19/11/2013).

Kroni Soeharto di masa lampau bisa membangun berbagai jenis industri seperti otomotif, mie instan, tepung, perkebunan, pertambangan dan lainnya, meski tidak sehebat Jepang. Tapi, Indonesia yang menjadi pasar otomotif terbesar dunia ini sampai hari ini belum ada kemauan untuk membangun industri yang mandiri.

Sementara itu, lanjut Rizal, yang dilakukan oleh SBY saat ini adalah dengan menggunakan pola percaloan. “Tak ada nilai tambah perekonomian untuk rakyat dan negara. Karena itu muncul nama-nama seperti Sengman, Bunda Puteri, dan lain-lain yang tidak jelas, dan mereka itu menikmati uang negara,” ujar Rizal.

Menurut Ketua Umum Kadin ini, ada tiga cara mudah untuk mendapatkan uang politik yang besar penguasa negara ini. Yaitu (pertama), dari impor pangan. Kedua, pengelolaan minyak dan gas (perdagangan, trading, lisensi-perizinan, distribusi dan lain-lain. Dan ketiga, melalui perampokan bank. Seperti terjadinya skandal Bank Century, Bank Bali dan semacamnya.

Sehingga itu, tak salah jika Rizal Ramli yang juga selaku Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARuP) ini menuding pemerintahan SBY yang sedang berjalan ini tidak beres karena menerapkan pola KKN tanpa nilai tambah. “Semoga 2014 menghasilkan pemimpin yang jauh lebih baik, mampu membangkitkan perekonomian negara, dan membangun industri yang mandiri,” pungkas ekonom senior ini.

Berikut ini adalah kesimpulan perbandingan perbedaan KKN yang terjadi di Pemerintahan Soeharto dengan yang berlangsung dalam pemerintahan SBY (referensi dari voaislam) :

I. KKN Soeharto
Meskipun KKN itu haram dan merusak, namun KKN Presiden Soeharto masih bisa melahirkan banyak industri yang sampai sekarang pun berkembang dengan baik. Misalnya industri mobil, motor, semen, material bangunan, properti, sampai pabrik mie instan. Semuanya itu tentu menimbulkan pertumbuhan ekonomi serta lapangan kerja yang tinggi, memberikan kesejahteraan untuk rakyat serta lebih merata dan sebagainya.

Juga, meski melakukan KKN, namun pemerintahan Soeharto masih mampu menggairahkan pembangunan pertanian dan perikanan (kelautan), salah satunya dengan aktifnya digelar Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa) dari desa ke desa.

Tentang keamanan, Soeharto bahkan sangat menjamin rasa aman bagi warga negara. Aparat negara dan hukum (TNI, polisi, hakim, hingga jaksa) sangat takut dan tidak leluasa melakukan korupsi.Coba kalau berani..?!?! Kalaupun ada yang berani, maka itu dipastikan adalah orang gila.

Di masa Orba (melalui TVRI atau di RRI) sangat jarang sekali terdengar Soeharto mengeluh lalu curhat kepada rakyat, apalagi berbohong. Bahkan di detik-detik keruntuhannya pun, Soeharto masih terlihat tegar meletakkan jabatannya. Sayangnya, apapun alasannya, KKN tetap tidak dibenarkan dilakukan oleh pejabat di negeri ini, apalagi sebagai presiden.

II. KKN SBY
Kalau dibandingkan dengan KKN Presiden SBY (patut diduga) yang telah banyak disebut dalam kesaksian Ridwan Hakim (putra Hilmi Aminuddin Ketua Dewan Syuro PKS) yang dalam kesaksiannya dibawah sumpah al-Quran di depan persidangan Ahmad Fathonah, yang dengan jelas menyebut nama Bunda Putri maupun Sengman.

Kesaksian Ridwan Hakim beredar di banyak media termasuk media online. Dan dengan terungkapnya hal-hal tersebut, maka pola KKN-nya SBY boleh jadi adalah dengan menerima setoran saja. Dalam hal ini SBY hanya tahu beres saja, pundi-pundinya pun akan diisi oleh para “gerombolannya”.

Parahnya, KKN saat ini tidak diikuti dengan nilai tambah berupa pembangun industri, menumbuhkan ekonomi, memberikan lapangan pekerjaan. Malah sebaliknya, yakni ekonomi bangsa dan negara makin dibuat sangat susah, yakni dengan menaikkan harga BBM, membuat harga-harga kebutuhan hidup rakyat makin mencekik, keberadaan usaha tahu dan tempe pun makin terjepit akibat kedelai yang sangat mahal dan langka, termasuk harga daging menjadi sangat mahal 95-120 ribu rupiah/kg (dua kali harga daging di Malaysia dan negara-negara lain, dan hingga kini tak mampu diturunkan meski sudah impor sapi dari Australia), serta seterusnya dan lain sebagainya.

Tentang pengakuan dan kesaksian Ridwan Hakim disusul oleh LHI itu sangat berbeda dengan bantahan SBY yang dilakukan secara murka dengan melontarkan bahwa "semua itu adalah 1000 persen-2000 persen bohong" dalam konferensi Pers di Halim Perdana Kusuma. Yakni, tidak di bawah sumpah al-Quran, tidak ada deliknya di KUHP.

Dari situ, publik malah balik "menuding", bahwa SBY-lah yang patut diduga berbohong. Betapa SBY berkali-kali bohong dengan keterangannya sendiri, misalnya pernah menyatakan tidak kenal dengan Ayin, ternyata kemudian beredar foto di online, SBY mendatangi pesta perkawinan anak Ayin. SBY melalui Juru bicaranya Julian Pasha juga mengaku tidak kenal dengan Sengman, namun tak seberapa lama mengaku juga.

Lagi pula bantahan SBY di Halim Perdanakusuma bahwa tidak kenal itu kan hanya ke bunda putri (Non Saputri/B1),tapi tidak pernah membantah bahwa tidak kenal dengan Sylvia S (bu Pur) yang belakangan dikenal sebagai bunda putri 2, yang hubungannya amat dekat dengan Cikeas, terlibat dengan proyek Hambalang dan pernah diperiksa KPK, dan konon sekarang malah raib entah lari ke mana.

1. Para Menteri pembantu SBY dan MK Melegalkan Perampokan BUMN
Menteri BUMN Dahlan Iskan dan Menteri Keuangan, Chatib Basri, layak dicurigai telah merestui pelepasan aset BUMN dari negara karena mereka berdua tidak bergeming atas permohonan uji materi UU Keuangan Negara dan BPK ke Mahkamah Konstitusi. Jika aset BUMN lepas dari Negara, maka BPK tidak lagi bisa mengaudit aliran dana mereka, dan hal ini ditenggarai beberapa pihak bisa menjadi “ATM” partai politik pada Pemilu 2014.

“Jangan-jangan menteri BUMN dan menteri keuangan itu merestui permohonan uji materi ke MK, sebab tidak ada upaya tegas melawan gugatan yang berpotensi privatisasi BUMN itu,” kata peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, di Jakarta, Minggu (17/11/2013).

Dugaan tersebut menguat saat salah satu pemohon gugatan uji materi itu dari Forum BUMN dan Biro Hukum Kementerian BUMN. Padahal, menurut Fariz, jika aset BUMN terpisah dari aset negara, maka timbul sejumlah risiko yang mengkuatirkan bagi negara.

“Kalau (permohonan) itu dikabulkan, kami kuatir akan menjadi ‘angin surga’ bagi praktik pembajakan dan perampokan BUMN. Kalau MK mengabulkan, maka MK melegalkan perampokan BUMN seperti layaknya politisi,” kata dia.

2. Politisi dan Polisi Masih Setor ke Atasannya
Ketua KPK Abraham Samad mengungkapkan, bahwa masih ada aparat polisi di Indonesia yang ingin bekerja dengan jujur. Namun ia mengaku hal itu sulit dilakukan karena menurut pengakuan para polisi tersebut, lingkungan kerja di kepolisian membuat mereka sulit untuk hidup jujur.

“Jawaban mayor sampai kolonel yang saya temui, mereka bilang nurani mau jadi polisi baik, tapi susah kalau ditarget oleh atasan untuk setor setiap bulan. Saya tidak setuju kalau dibilang cuma 3 polisi yang jujur, polisi Hoegeng, patung polisi dan polisi tidur. Masih banyak polisi baik, ironisnya mereka hanya ditempatkan di diklat,” kata Abraham.

Abraham meminta agar Sutarman menempatkan para polisi yang berhati nurani jujur di tempat yang memiliki fungsi penindakan agar masyarakat terus memberikan kritik dan mengevaluasi kinerja kepolisian agar kepolisian bisa berubah.

Begitu pun dengan sepak-terjang sebagian besar politisi yang duduk sebagai anggota legislatif, yang umumnya sudah terang-terangan melakukan "perburuan" proyek ke sejumlah kementerian. Di daerah-daerah pun demikian, tidak sedikit anggota DPRD yang tidak punya malu dengan leluasanya memburu proyek-proyek ke sejumlah SKPD. Proyek-proyek tersebut bisa dikerjakannya sendiri melalui perusahaan milik keluarga atau kelompoknya, dan juga tak jarang menjadi perantara proyek untuk diberikan kepada pihak lain karena harapan mendapatkan fee, namun tetap sejumlah nilai lainnya akan disetor ke "atasan".

Terlepas dari semua uraian tersebut di atas, tentunya yang menjadi pandangan dan prinsip rakyat sejak dulu hingga kini adalah sangat tidak terpujinya jika seorang kepala negara tega melakukan korupsi (mencuri dan merampok, lalu melahap uang rakyat).

Karena apapun alasannya, KKN yang dilakukan oleh pejabat tinggi negara (apalagi presiden) hanya menjadi malapetaka dan musibah terbesar buat negeri ini. Akibatnya, negara hancur karena dipenuhi oleh koruptor bermoral "tikus" dan rakyat yang bermentalkan "kucing". Namun semoga "kucing" bisa kembali kepada watak aslinya, yakni dengan segera menerkam dan memangsa "tikus-tikus" pelahap uang rakyat tersebut.>map/ams

-------
Merdeka... dan Salam Perubahan...!!!

Sandiwara Sadap dari Istana Presiden

[RR1online]:
AKHIR-akhir ini begitu gencar diberitakan tentang isu penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap sejumlah pejabat tinggi di negara ini. Terlepas benar atau tidaknya penyadapan tersebut, yang jelas telah berhasil mengundang perhatian banyak pihak, hingga berbagai pandangan pun bermunculan.

Salah satunya adalah pandangan seorang tokoh wanita "pejuang" kedaulatan rakyat Indonesia, Ratna Sarumpaet, menilai hal tersebut sebagai "Sandiwara Sadap dari Istana Presiden", yang dituangkannya dalam Fanpage-FB miliknya. Berikut secara lengkap kutipan "Press Release" Ratna Sarumpaet:
--------------
SUDAH seminggu Menteri Luar Negeri Indonesia, saudara Marty Natalegawa sibuk dan sangat murka karena Presiden, Isteri Presiden, Wakil Presiden dan para anggota Kabinet konon disadap oleh Amerika - Australia. Presiden pun marah besar konon, karena Isteri beliau termasuk yang ikut disadap.
Apa maksud semua kemarahan itu? Supaya seolah-olah para penyelenggara Negara telah bekerja? Supaya seolah-olah mereka telah maksimal menjaga negeri ini? Atau ini hanya kemarahan sandiwara, sekadar menunjukkan (seperti biasa) bahwa mereka sedang teraniaya oleh ulah Australia?

Sebab kalau penyadapan adalah melanggar Konvensi Internasional, kenapa pemerintah melalui saudara Marty atau Melu RI hanya meminta penjelasan? Kenapa tidak punya keberanian dengan tegas memutuskan hubungan ekonomi politik dengan Australia, misalnya?

Sebenarnya, suka atau tidak, negeri ini sudah terjajah dan yang membuat negeri ini terjajah adalah pengkhianatan, ketamakan dan kebodohan para penyelenggara Negara. Jadi adalah aneh apabila SBY menganggap diri masih berhak marah atas adanya penyadapan Australia karena dia sendiri sebagai kepala Negara nyaris tidak pernah membuat langkah yang menunjukkan ia dengan sungguh-sungguh menjaga “rahasia” Negara Bangsa dari sentuhan Negara-negara Asing.

“Rahasia Negara” tidak semata dokumen inteligen. Kekayaan bangsa ini secara ekonomi, social budaya juga “rahasia Negara” yang harusnya dijaga dan dikelola semata-mata demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan bangsa dan itu betul yang secara sadar telah digadaikan. Betul proses menggadaikan kekayaan bangsa ini pada Kapitalis Global sudah berlangsung sejak rezim-rezim sebelumnya, namun penggadaian itu memuncak dan jadi brutal pada rezim Yudhoyono – Boediono dan itu kunci Indonesia tidak lagi mandiri.

Sejak rezim Yudhoyono - Boediono menerbitkan Undang-undang Investasi, rezim ini telah secara sadar membiarkan Modal Asing masuk hingga ke sendi-sendi ekonomi politik bangsa Indonesia dan membiarkan kontrol ekonomi berada di tangan asing. Sejak itu, Indonesia sudah tidak punya kemandirian dan kedaulatan secara ekonomi dan politik. Itu fakta kita.

Jadi, adalah memalukan apabila Pemerintah terus ribut mempersoalkan sadap Negara asing, sementara Pemerintah sendirilah yang membiarkan bangsa ini terjajah oleh kapitalis asing. Suka atau tidak, modal asing telah menguasai Migas kita hingga 70%, Minerba hingga 89%, Sawit 75%, Kelautan 65%, sementara regulasi kita memungkinkan BANK boleh dikuasai asing hingga 90% dan Farmasi/Medis terbuka untuk dikuasai asing, dst.

Jadi Istana, Kabinet dan DPR sebaiknya berhenti meributkan sadap dan bercerminlah. “Kalau tidak ingin kecolongan, kunci Rumah!” Itu seminim-minimnya kesadaran yang masih bisa dilakukan, kecuali ada keberanian mengubah Undang-Undang Investasi Asing, kembali pada amanat para pendiri bangsa ini.>map/ams
------------
Sumber:
Fanpage (FB) Ratna Sarumpaet / 2A9DE50E. Ketua Presidium Pusat Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI)

Minggu, 27 Oktober 2013

Rizal Ramli Pelopori AntiKorupsi di Kadin


Jakarta, [RR1online]:
KESERIUSAN Rizal Ramli selaku Ketua Umum Kadin untuk menjadikan Kadin sebagai organisasi yang berwibawa, kuat, rapi, dan bersih mulai ditunjukkannya dalam Munas VII Kadin. Yakni, dilakukannya penandatanganan Pakta Integritas Anti-Korupsi (PIAK) di hadapan Ketua KPK Abraham Samad . Penandatangan PIAK itu sendiri dilakukan oleh Ketua Umum Kadin Rizal Ramli, Ketua Dewan Pertimbangan Kadin Oesman Sapta Odang, dan Ketua Dewan Penasehat Kadin Setiawan Djody.

Ada tiga butir yang tertuang dalam PIAK yang dibacakan langsung Rizal Ramli secara tegas pada Munas VII Kadin Indonesia, di  Hotel Manhattan, Jakarta, Selasa (22/10), yakni:
1. Kadin Indonesia menyatakan, akan mempelopori gerakan antikorupsi bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kalangan dunia usaha,
2. Kadin Indonesia akan membangun masyarakat Indonesia yang bersih dari korupsi bersama KPK,
3. Kadin Indonesia akan membangun masyarakat Indonesia yang sejahtera, maju, dan mandiri untuk Indonesia yang lebih baik.

Tentu saja, yang dilakukan oleh Rizal Ramli dkk di tubuh Kadin itu adalah sebuah babak-baru agar Indonesia dapat benar-benar bersih, lalu mampu memperbaiki dan menata kondisi ekonomi Indonesia yang saat ini sedang mengalami babak-belur. Dan sebagai mantan Menko Perekonomian sekaligus selaku Ekonom Senior, Rizal Ramli diyakini mampu  untuk melakukan hal tersebut.

Tak salah jika Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) menunjuk Rizal Ramli sebagai Capres yang paling ideal 2014. Sebab, dalam hal ini saja, Rizal Ramli nampaknya memang sangat menyadari betul, bahwa korupsi tingkat tinggi saat ini yang paling banyak dilakoni oleh para pejabat tinggi itu juga banyak melibatkan pengusaha. Misalnya, melalui lobi-lobi proyek, dari sejak digodok di DPR hingga pada penentuan pemenang tendernya, itu sangatlah sarat dengan persekongkolan untuk mendapatkan keuntungan berlipat-lipat. Lalu muncullah KORUPSI melalui suap-menyuap.

Selama ini, kita memang sudah sangat mengetahui adanya sebuah “budaya” yang sering dilakukan oleh para pejabat dengan pengusaha, yakni suap-menyuap untuk mendapatkan proyek. “Budaya” inilah yang kiranya ingin dihentikan oleh Rizal Ramli selaku Ketua Umum Kadin agar terjadi pemerataan kesejahteraan di dunia usaha secara profesional, bukan karena adanya hubungan garis kekeluargaan atau kekerabatan yang pada akhirnya hanya memunculkan dinasti kekuasaan.

“Jika tidak dihentikan (korupsi) saat ini, maka jangan harap negara ini menjadi sejahtera. Korupsi dilakukan karena hidup koruptornya tamak, serakah dan hidupnya sudah mewah, Tapi ternyata masih saja korupsi,” ujar Abraham Samad sebagai pembicara dalam Munas Kadin VII, di Jakarta, Selasa (22/10) tersebut. Seperti dikutip baratamedia.

Abraham menegaskan agar para pengusaha dapat memberikan dukungannya dalam upaya pemberantasan korupsi yang sangat marak seperti saat ini, yakni dengan meninggalkan praktik suap. “Harus dihindari oleh pengusaha-pengusaha yang ada di Kadin. Hindari praktik suap,” kata Abraham Samad.

Sementara itu, Rizal Ramli menegaskan, tingginya harga kebutuhan pangan adalah buah dari kebijakan ekonomi, khususnya perdagangan yang keliru. Dipertahankannya sistem kuota impor telah melahirkan kelompok-kelompok kartel yang merugikan bangsa dan rakyat Indonesia. Pada saat yang sama, kartel-kartel ini mendikte harga untuk memperoleh keuntungan sangat besar, yang sebagian mereka gunakan untuk menyogok pejabat-pejabat korup.

Menurut Rizal Ramli, Kadin-lah yang seharusnya melobi pemerintah, agar sistem kartel yang hanya menguntungkan segelintir pemain besar segera dihapuskan. Saat ini, katanya, rakyat kita membayar harga daging sapi, gula, dan kedelai 100 persen lebih mahal dibandingkan harga di pasar internasional. “Saya yakin, kalau sistem kartel dihapuskan, harga berbagai bahan pangan itu bisa turun hingga 80 persen. Lagi pula, dengan dihapuskannya sistem kartel, maka pengusaha di daerah juga bisa mengimpor gula, kedelai, daging sapi dan lainnya. Tentu saja, mereka juga harus membayar tarif yang wajar sehingga tidak merugikan petani,” ujar Rizal Ramli, disambut gemuruh tepuk tangan peserta Munas.

Dikatakannya, Kadin seharusnya berfungsi sebagai kekuatan yang mendorong dilahirkannya kebijakan-kebijakan di bidang ekonomi. “Jangan lagi Kadin hanya menjadi alat para pengurusnya untuk memperoleh proyek seperti selama ini. Ketua dan pengurus Kadin harus benar-benar bekerja untuk seluruh anggotanya. Jangan cuma bangga ditenteng-tenteng presiden atau menteri ke berbagai acara ini-itu, sementara secara substansial justru sama sekali tidak berperan,” ujar Rizal Ramli yang kembali disambut sorak tepuk tangan peserta Munas.

Sehubungan dengan itu, Rizal Ramli mengajak seluruh pengusaha untuk menjadikan Munas VII Kadin kali ini sebagai momentum kebangkitan pengusaha. Langkah itu diawali dengan menjadikan Kadin sebagai wadah pengusaha yang berwibawa dan disegani. Jangan lagi menjadikan Kadin hanya semata-mata sebagai alat untuk memperoleh proyek-proyek dari pemerintah.

“Sebagai pengusaha, boleh saaja dan memang sudah seharusnya berbisnis, termasuk mencari proyek. Tapi itu silakan secara individu, bukan organisasi. Kadin harus mampu mendorong dilahirkannya kebijakan-kebijakan untuk membangun Indonesia yang lebih baik,” kata Rizal Ramli.

Dalam kesempatan tersebut, Rizal Ramli juga mengaku prihatin melihat rendahnya standar etika para pejabat publik di negeri ini. “Di luar negeri, pejabat yang baru terindikasi korupsi saja sudah mengundurkan diri. Di Indonesia, bukan saja mereka tidak mundur dari jabatannya, tapi juga masih tidak punya malu tampil di depan publik. Bahkan ada pejabat yang masih bicara soal good gevernance walau sudah jadi tersangka,” kata Rizal Ramli.

Sementara itu, Ketua Dewan Pengarah Munas Nur Achmad Affandi mengungkapkan, Munas kali ini dihadiri 27 Kadinda provisini dan 25 asosiasi sebagai Anggota Luar Biasa (ALB). Dengan demikian Munas kali ini sudah jauh melampaui kuorum yang dibutuhkan. Sedangkan agenda Munas adalah merumuskan kebijakan sebagai rekomendasi, menyusun program umum, dan memilih Ketua umum dan formatur.>map/ams

Jumat, 18 Oktober 2013

Berhasil “Menipu” Publik, SBY Justru yang Pembohong?

Jakarta, [RR1online]:
MESKI
sejumlah pihak sudah banyak yang mencoba mengungkap jatidiri Bunda Putri. Namun sejauh ini, belum ada kejelasan tentang sosok yang diduga punya kedekatan khusus dengan Presiden SBY itu.

Di benak publik saat ini menempatkan Bunda Putri sebagai sosok hebat. Yakni, bisa mengetahui rencana reshuffle kabinet, bisa bagi-bagi proyek yang bernilai anggaran tinggi, dan terakhir bisa “menyuruh” SBY untuk memvonis Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) 1000%…2000% sebagai pembohong. Hebat, bukan?!

Konferensi Pers (konpers) yang mendadak digelar oleh SBY pekan lalu itu, adalah karena SBY merasa dirugikan dengan kesaksian LHI. Tetapi, menurut saya, konpers itu seakan disengaja sebagai kesempatan buat SBY agar perhatian publik benar-benar mengarah kepada sosok Bunda Putri saja (jangan yang lain). Sampai-sampai SBY berjanji untuk mengungkap jatidiri Bunda Putri.

Di saat yang hampir bersamaan, bermunculanlah banyak informasi, terutama dari media massa di dunia maya. Namun semuanya masih belum jelas secara pasti. Ada yang menduga Bunda Putri adalah istri salah seorang pejabat tinggi di Kementerian Pertanian, ada juga informasi yang disertai foto-foto yang diduga Bunda Putri dengan menyebut Bunda Putri adalah sebetulnya berinisial SS (istri PDR, pensiunan perwira tinggi Polri). Dan boleh jadi ada juga yang menduga, bahwa Bunda Putri adalah “istri pertama” SBY. Sehingga publik pun jadi penasaran.

Rasa penasaran publik ini pun makin bertambah ketika SBY dalam konpers tersebut berjanji akan mengungkap jatidiri Bunda Putri. Dan dipastikan publik pun menantikan janji SBY tersebut.

Tetapi sungguh mengesalkan, seperti yang dilansir kompas.com, Presiden SBY melalui juru bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha menyampaikan bahwa pihak Istana tidak akan mengungkap identitas Bunda Putri ke publik. Informasi tentang Bunda Putri dari hasil kerja intelijen hanya ditujukan sebagai konsumsi internal pihak Istana.

Tentu saja, sikap istana untuk TIDAK mengungkap sosok Bunda Putri ke publik itu dinilai tak berbanding lurus dengan nada amarah dan sikap keras Presiden saat konpers. Sehingga publik pun makin bertanya-tanya: apakah SBY benar-benar serius mengatakan TIDAK terhadap korupsi? Dan apakah SBY benar-benar punya niat baik untuk memberantas korupsi? Jika ya, maka mengapa hanya dengan persoalan pengungkapkan sosok Bunda Putri tidak mampu untuk dilakukannya? Apakah Bunda Putri adalah istri seorang pejabat di Kementan atau justru orang di dalam istana atau Cikeas?

Menyikapi munculnya banyak pertanyaan seperti di atas, Ketua Umum Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARuP) DR. Rizal Ramli mengatakan, kalau jalinan cerita ini benar, berarti taktik pengalihan isu SBY berhasil lagi.

“Dalam dunia militer dikenal taktik decoy atau penggunaan sasaran palsu. Kalau ini benar, maka SBY berhasil menggunakan taktik decoy dengan tujuan mengalihkan sasaran kemarahan publik, dari orang dalam Cikeas (keluarga Presiden) kepada pihak lain di luar Cikeas,” ujar Rizal Ramli seperti dikutip rmol.co.

Di sisi lain, tidak dipenuhinya janji SBY untuk mengungkap sosok Bunda Putri, membuat Ketua DPP PKS Hidayat Nur Wahid turut menjadi bingung.
“Publik 3.000 persen menunggu hasil investigasi dari Presiden. Jika tidak diungkap, ini justru akan menimbulkan kecurigaan relasi Bunda Putri dengan beberapa pihak di Istana,” ujar Hidayat Nur Wahid, di Jakarta, Kamis (17/10/2013). Seperti dikutip kompas.com.

Hidayat banhkan bertanya-tanya, mengapa kali ini hanya juru bicara Presiden yang menyampaikan informasi pembatalan? “Apakah itu perintah Pak SBY, atau manuver Julian sendiri?” tanyanya. Kalau pun memang profil Bunda Putri tak jadi diumumkan, Hidayat berpendapat akan lebih baik bila Presiden sendiri yang mengumumkannya, sebanding dengan konferensi pers dan kemarahan Presiden atas kesaksian Luthfi.

Kronologis munculnya nama sosok Bunda Putri ini memang berawal dari kesaksian LHI, tetapi sumber pertama penyebutan nama Bunda Putri ini tentu saja berasal dari lingkaran istana. Artinya, LHI dalam hal ini hanya meneruskan penyebutan sosok tersebut dalam persidangan.

Sehingga kembali menurut Rizal Ramli, Bunda Putri yang sebenarnya adalah wanita yang berinisial SS. “Presiden berhasil mengelabui rakyat Indonesia dengan membesar-besarkan tokoh decoy, tokoh palsu yaitu yang banyak fotonya dengan menteri-menteri. Tokoh sesungguhnya bukan itu, adalah SS, istri dari seseorang yang bekerja di Cikeas,” ungkap Rizal Ramli yang juga sebagai Tokoh Arus pergerakan Perubahan ini.

Karena sejauh ini belum ada kejelasan tentang sosok Bunda Putri. Menyusul dengan batalnya SBY mengungkap jatidiri Bunda Putri, membuat publik pun seakan merasa tertipu. Lalu pertanyaan tentang siapa sesungguhnya yang berbohong, publik sudah bisa menebaknya?!>map/ams

Senin, 14 Oktober 2013

Kali ini, Saya “Percaya 2014%” Luthfi

[RR1online]:
PUBLIK sejauh ini boleh saja tak lagi simpatik dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dinilai telah melakukan perbuatan “kotor” (seperti korupsi). Tetapi, pada persoalan pemberian keterangan yang dilakukan Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) dengan menyebut Bunda Putri sebagai sosok yang memiliki kedekatan dan “pengaruh” khusus kepada SBY, maka secara pribadi saya masih menaruh rasa salut.

“Bunda Putri adalah orang yang dekat dengan Presiden SBY. Dia sangat tahu soal kebijakan reshuffle,” ungkap Luthfi saat bersaksi dalam sidang Ahmad Fathanah, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada kasus suap impor daging sapi, di Jakarta, Kamis (10/10/2013). Seperti ditulis merdeka.com.

Dari kasus dugaan suap itu, katakanlah Luthfi memang telah turut berbuat “kotor”. Namun, justru karena alasan telah dinilai berbuat “kotor” itulah, yang kemudian kiranya membuat Luthfi pun harus “terpaksa berkata jujur”. Dalam hal ini, Luthfi tentu ingin mencari “keadilan”, yakni dengan berusaha menunjukkan kepada Hakim dalam persidangan, bahwa ia tidaklah “sendiri” bermain kotor.

Sederhananya, Luthfi saat ini sangat sadar bahwa dirinya telah terlanjur basah “tercebur” di kubangan lumpur, ditambah lagi di sisi lain dengan terbongkarnya beberapa kasus korupsi seperti di SKK Migas, lalu terakhir dengan ditangkapnya Ketua MK, yang dengan mengetahui semuanya itulah, Luthfi pun kemudian pada akhirnya nampaknya lebih memilih untuk “sekalian” saja membeberkan semua rentetan “kisah” yang mewarnai perjalanannya hingga  harus berada di meja-hijau.

Jika hal ini coba dihubungkan dengan kesaksian sebelumnya dari Ridwan Hakim, putra Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminuddin, yang beberapa waktu lalu menyebut nama Sengman yang juga dinilai sebagai sosok yang memiliki kedekatan dengan SBY, maka akankah majelis hakim mengabaikan kesaksian Luthfi?

Penyebutan nama Sengman dan juga Bunda Putri yang mengaitkan nama SBY adalah sebuah fakta persidangan. Anehnya, SBY buru-buru menanggapi kesaksian (fakta persidangan) tersebut secara amat tegas dan dengan intonasi “marah”. Yakni, SBY bergegas melakukan klarifikasi di luar persidangan melalui konferensi Pers (konpers),  di Halim Perdanakusuma Jakarta, Kamis malam (10/10).

Padahal lalu-lalu, SBY berkali-kali pernah mengatakan, bahwa dirinya tidak akan ingin “mencampuri“ alias intervensi  terhadap semua perkara hukum, terutama kasus korupsi. Tetapi, SBY nampaknya lupa, bahwa dengan melakukan klarifikasi atau tanggapan yang tergopoh-gopoh (melalui konpres) atas kesaksian seseorang yang sedang (masih proses hukum) di dalam persidangan, itu sama saja secara tidak langsung telah melakukan intervensi.

“Reaksi” dan sikap SBY itu, secara psikologis bisa membuat majelis hakim merasa terganggu, dan bahkan (mungkin) bisa merasa “tertekan” ketika mengetahui adanya tanggapan “marah” dari kepala negara atas kesaksian Luthfi. Dan ini bisa saja mempengaruhi kemurnian dari keputusan yang akan diambil oleh majelis hakim nantinya. Namun, moga-moga saja tidak demikian!

Tidak cuma itu, tanggapan mendadak dari SBY juga bisa membangun berbagai opini publik yang beragam. Sehingga, apabila ada opini bersifat dugaan yang mengarah ke SBY sebagai sosok yang mungkin juga terlibat dalam kasus “korupsi” itu, maka opini itu tak bisa dicegah, apalagi jika pendapat publik tersebut ingin disalahkan.

Sebab, SBY-lah sesungguhnya yang telah MEMAKSA publik untuk memunculkan beragam opini dari konpers tersebut. Apalagi memang saat ini, berbagai kalangan sudah menaruh rasa tidak percaya terhadap pemerintahan SBY yang misalnya juga karena “ulah” dari sejumlah kader partainya. Publik bahkan bisa menilai, bahwa bantahan SBY itu sepertinya sebagai cuci tangan saja. Atau istilah: “Ketang dan Kepiting sama saja”.

Dalam konpers itu, SBY nampak sekali dengan semangat berkobar-kobar dan “bernafsu”membantah kesaksian Luthfi. Padahal, sikap tegas berkobar-kobar dari SBY seperti itulah sesungguhnya yang sangat dinanti-nantikan Rakyat Indonesia,  yakni misalnya, ketika Malaysia berkali-kali “menghina dan melecehkan” Indonesia, atau di kala TKW kita di luar negeri diperlakukan seperti binatang, diperkosa, dihamili, dan bahkan dibunuh. Sayangnya, di saat-saat seperti itu SBY dan para kader di parpolnya yang biasa berteriak lantang, malah seakan MK (Mati Kutu). Sehingga, membuat rakyat pun jadi bingung dan kecewa.

Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli bahkan juga mengaku bingung dan menyayangkan sikap Presiden SBY tersebut. “Saya bingung, SBY merendahkan dirinya sendiri dengan marah-marah begitu,” ujar Rizal di sela-sela diskusi di Gedung DPD/DPR RI Jakarta, Jumat (11/10/2013).

Ketua Pergerakan Arus Perubahan itu menyebutkan, SBY seharusnya tak perlu marah-marah seperti itu. Jika memang ada isu yang perlu diluruskan, Rizal Ramli menyarankan, cukup SBY sebagai Presiden mewakilkan kepada juru bicara Presiden atau sekretaris Kabinet.

Sebab, lanjut Rizal Ramli, jika Presiden yang langsung menanggapinya dengan mimik marah-marah seperti itu, maka itu justru dapat menimbulkan penilaian bahwa ini tentu ada apa-apanya.

Namun figur yang juga mulai ramai diincar untuk dimajukan dalam pilpres 2014 ini pun, mengaku tidak mengenal siapa itu Bunda Putri. “Saya tidak kenal Bunda Putri, jadi no comment,” kata Rizal Ramli.

Tetapi kalau mengenai Sengman, Rizal Ramli berani mengatakan SBY berbohong apabila mengaku tak mengenal sosok Sengman. “SBY berbohong kalau tidak kenal Sengman, karena SBY kenal banget,” ujar Rizal, seperti dilansir tribunnews.

Sementara itu Politisi PKS Fahri Hamzah menyebut, Presiden SBY hanya pura-pura tidak tahu soal Bunda Putri. “Harusnya tahu. SBY berlagak ‘pilon’ (pura-pura tidak tahu) aja. Setiap orang yang ketemu LHI atas namakan SBY kan pasti dikonfirmasi,” kata Fahri Hamzah saat dikonfirmasi wartawan di Jakarta, Jumat (11/10). Seperti dikutip jpnn.com.

Selama ini, kata Fahri, KPK selalu memutus rantai pemberantasan korupsi menuju kekuasaan. Misalnya saja kasus di Hambalang yang menyeret nama Edi Baskoro Yudhoyono (Ibas), namun ditutup oleh KPK. Dalam kasus impor, kata Fahri, ada sosok Bunda Putri dan Sengman.

“SBY seharusnya membaca ini gejala apa. Sebab ini bukan sekadar soal jual nama, tapi soal konsep dan strategi pemberantasan korupsi yang SBY abaikan sejak lama. Artinya SBY ini sudah jadi bagian dari masalah,” ujar Fahri.

Kembali mengenai kesaksian yang diberikan Luthfi. Selain SBY yang mendadak marah, ternyata sebelumnya, seorang hakim dalam persidangan tersebut lebih dulu telah memarahi Luthfi atas disebutnya nama Bunda Putri dan SBY. “Anda tidak rasional. Ketika ditanyakan dekat dengan SBY, langsung cepat menjawab. Tapi begitu ditanyakan dia siapa, saudara tidak tahu,” kata hakim anggota Nawawi Pomolango di persidangan, Jakarta, Kamis (10/10/2013) tersebut. Seperti dilansir tempo.co.

Tak hanya itu, hakim Nawawi juga mengaku tak suka karena Luthfi menuding berbagai pihak. Sebab, selain menyebut dekat dengan SBY, Luthfi juga mengatakan Bunda Putri merupakan anak pendiri Golkar. “Saya tidak mau persidangan ini jadi ruang untuk nyekak sana nyekak sini,” ujar Nawawi.

Untuk menggali kebenaran, hakim memang punya hak penuh untuk memarahi seorang saksi maupun terdakwa dalam persidangan. Tetapi ketika ada sejumlah keterangan ataupun kesaksian yang mungkin masih dianggap “misteri” yang muncul di persidangan, maka itu adalah menjadi kewajiban hakim untuk mengungkap kebenarannya demi menegakkan KEADILAN di dalam negara hukum ini, yakni tanpa harus terpengaruh dengan kekuasaan dari pihak-pihak tertentu. Kalau perlu, kesaksian Luthfi ini bisa dikonfrontir dengan menghadirkan secara resmi SBY, bukan malah dengan cara membantah lalu balik menuding Lutfhi 1000%….2000% bohong di luar persidangan. UUD 1945, pasal 28D (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Sehingga, menurut pandangan psikologis saya dalam hal ini, jika hakim bisa memarahi seorang saksi yang dianggap “mengada-ngada”, atau katakanlah hanya sebatas karena ada keterangan seorang saksi yang TIDAK DISUKAI oleh hakim lalu kemudian hakim itu memarahinya……, maka apa bedanya dengan SBY yang pula ikut “memarahi” Luthfi dengan “menggelar sebuah persidangan tandingan” di luar pengadilan..???

Namun terlepas dari semua itu, saya sebagai pengamat politik, hukum dan sosial, sementara ini hanya bisa menyimpulkan, bahwa baik kesaksian yang  “dahsyat” dari Luthfi, maupun bantahan “galau” SBY bernada marah yang bukan pada tempatnya, adalah saya percaya 2014% bermuatan politik.

Tetapi salah satu di antaranya (SBY ataukah Luthfi) tentunya memiliki nilai kebenaran yang “HARUS DIKEJAR” dan diungkap oleh hakim secara arif dan bijaksana, serta harus dengan TEGAS dan BERANI memunculkan kebenaran tersebut atas nama TUHAN SANG PEMILIK KEADILAN.
Salam Perubahan….!!!!