Selasa, 31 Desember 2013

KPK pun Cium Aroma Suap Hasil Pilgub Jatim 2013

Kategori: Artikel*
[RR1online]:
SAAT ditangkap tangan oleh KPK, Akil Mochtar (AM) masih menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), dan saat itu proses sengketa Pilgub Jatim juga masih sempat ditangani AM. Meski memang pada saat pembacaan putusan tidak lagi dilakukan oleh AM, tetapi proses pembuatan putusan Pilgub Jatim tersebut diyakini masih merupakan hasil “kerajinan tangan” AM.

Sehingga untuk menelusuri seluruh hasil “jarahan” Akil Mochtar yang memenangkan pemberi suap pada setiap sengketa Pilkada, KPK akhirnya cukup jeli melihat kemungkinan suap yang juga dilakukan oleh pasangan incumbent, Karsa= Soekarwo – Saifullah Yusuf.

Ya, setelah dugaan suap penanganan sengketa Pilkada Lebak, Banten dan Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, lembaga pimpinan Abraham Samad itu terus mengendus dugaan suap di semua sengketa Pilkada di daerah lainnya, termasuk Pilgub Jatim 2013.

Selasa (31/12/2013), Ketua KPU Jatim Andry Dewanto Ahmad akhirnya diperiksa oleh penyidik KPK di Gedung KPK, Jakarta.

Priharsa Nugraha selaku Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi membenarkan penyidik KPK yang tangani kasus Akil Mochtar hari ini (Selasa 31/12/2013) memeriksa Ketua KPU Jatim sebagai saksi dari pengembangan yang dilakukan oleh penyidik atas tersangka Akil Mochtar.

“Ya, Ketua KPU Jatim diperiksa sebagai saksi untuk tersangka AM,” ujar Priharsa singkat menjawab pertanyaan sejumlah awak media.

MK saat dipimpin Akil Mochtar memang sangat patut diduga juga telah memenangkan pasangan Karsa melalui suap. Kenapa..?

Sebab, pasangan Karsa adalah pasangan incumbent yang disebut-sebut sangat gampang menyediakan uang miliaran rupiah demi memenangkan kembali pertarungan Pilgub Jatim. Ini terungkap dalam Rapimnas Partai Kedaulatan, 15-17 Juni 2013.

Sebagai salah satu pimpinan Partai Kedaulatan di daerah, saya bersama para peserta Rapimnas mendengar, bahwa Sekjen kami di Partai Kedaulatan telah menerima uang panjar dari jumlah miliaran yang akan disediakan oleh pasangan Karsa tanpa sepengetahuan Ketua Umum Partai Kedaulatan.

Rapimnas kemudian sepakat untuk memecat Sekjen, dan menggantikannya dengan Sekjen yang baru. Lalu memutuskan untuk tetap mendukung pasangan Khofifah-Herman.
Dari Rapimnas itulah Pasangan Karsa terungkap siap menggelontorkan uang miliaran rupiah asalkan Partai Kedaulatan bisa ikut bergabung sebagai parpol koalisi. Selain itu, sekaligus juga besar dugaan adalah demi menghambat lolosnya pasangan Khofifah-Herman untuk maju dalam Pilgub Jatim 2013.

Dugaan adanya upaya untuk menghambat pasangan Khofifah-Herman nyaris berhasil dilakukan pasangan Karsa, boleh jadi juga dari hasil kongkalikong dengan KPU Jatim. Yakni dalam pleno, KPU jatim memutuskan pasangan Khofifah-Herman TIDAK MEMENUHI SYARAT untuk maju dalam Pilgub.

Pasangan Khofifah-Herman pun mencari keadilan demokrasi di negeri ini. Melalui persidangan di DKPP, Khofifah-Herman akhirnya diputuskan sah dan berhak untuk juga ikut sebagai peserta Pilkada Jatim 2013.

Olehnya itu, jika KPK kemudian juga mencium adanya aroma kecurangan yang diduga dilakukan oleh pasangan Karsa pada proses sengketa di MK, maka itu tidak keliru. Jempol buat KPK..!!!! Sebab, dalam perjalanannya, pasangan Karsa memang telah memperlihatkan gelagak takut kalah dari lawan terkuatnya sejak Pilgub Jatim sebelumnya, yakni pasangan Khofifah-Herman.

Kita tunggu hasil penciuman KPK itu secara nyata demi kebenaran dan keadilan, serta untuk kemajuan berdemokrasi secara sehat di negeri ini. Sekali lagi, dua jempol buat KPK…!!!
---------
*Sumber: Kompasiana

“Gravitasi” Pemerintahan SBY di Lingkaran “Gratifikasi”?

[RR1online]:
MAKNA gravitasi yang saya maksud di sini adalah sebuah kekuatan yang mampu membuat suatu pemerintahan bisa tetap kembali berpijak di atas penguasa yang sama. Ibarat bola yang dilempar ke atas, akan tetap kembali turun karena adanya kekuatan gaya tarik bumi.

Sedangkan gratifikasi dalam hal ini, adalah sebuah hadiah yang diberikan atas balas jasa terhadap suatu hasil pekerjaan. Baik berupa uang, barang, jabatan, wanita penghibur, dan segala yang mampu memberi kepuasan lainnya.

Namun judul artikel ini adalah sebuah pertanyaan. Yang selanjutnya, dari hasil perenungan, baik secara analisis politik maupun dengan melibatkan pemikiran rasio saja, maka jawabannya bisa dirangkai ke dalam beberapa pandangan yang dapat dilukiskan menurut kondisi yang ada saat ini.

Pandangan dan penilaian pertama yang memang nampaknya mendekati kebenaran adalah datangnya dari Mantan Menko Perekonomian, DR. Rizal Ramli (RR1) yang dengan tegas menyebutkan, bahwa Boediono  sangat patut diduga telah menerima gratifikasi (hadiah) dalam bentuk jabatan. Yakni terpilih sebagai Cawapres mendampingi SBY dalam Pilpres 2009.

Menurut RR1, Boediono mungkin tidak menerima dana dari bailout Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. Tetapi patut diduga lantaran “berhasil” mengubah peraturan mengenai capital adequacy ratio (CAR) yang memungkinkan Bank Century mendapatkan suntikan dana talangan, Boediono pun akhirnya mendapatkan sogokan dalam bentuk lain, yakni jabatan.

Dari pendekatan analisis politik dan pemikiran rasio saya, dugaan RR1 itu sangat sulit dibantah. Artinya, apa yang dikatakan oleh RR1 tersebut bukan hanya sebagai aksioma, tetapi juga adalah sebuah logika yang sangat mendekati kebenaran. Dan pembuktiannya hanya dapat dimunculkan oleh KPK. Itupun jika KPK memang ingin benar-benat serius untuk segera memunculkan kebenarannya.

Disebut logika yang sangat mendekati kebenaran, karena mengapa Boediono bisa secara tiba-tiba ditunjuk menjadi Cawapres 2009 setelah berhasil mengucurkan dana Rp.6,7 Triliun, padahal Boediono bukanlah kader Partai Demokrat atau dari partai lainnya, juga tak ada kinerja yang patut ditunjuk sebagai prestasi dari Boediono. Sehebat itukah Boediono sehingga bisa mengalahkan Bakal Cawapres 2009 yang saat itu tengah digodok oleh Partai Demokrat?

Dari logika tersebut, saya kira bukan hanya RR1 yang menduga kuat jika jabatan Boediono saat ini adalah hasil “gratifikasi”, tetapi juga hampir semua rakyat Indonesia akan berpikiran sama. Termasuk kalangan parpol lainnya yang saat itu telah mengajukan dan memasukkan nama kader mereka untuk dipilih sebagai cawapres 2009, namun tiba-tiba hanya Boediono yang dipilih. Sehingga sepertinya pengacara keluarga SBY keliru jika hanya melayangkan somasi kepada RR1.

Apalagi kenyataannya Bank Century memang sedang bermasalah dan menjadi salah satu kasus korupsi papan atas saat ini. Sehingga siapa pun secara langsung atau tidak akan bisa membentuk sebuah pemikiran yang mengarah kepada sosok Boediono. Terhadap kasus tersebut, maka pemikiran politiknya adalah bisa menempatkan Boediono sebagai penerima gratifikasi. Dan secara pemikiran hukum, Boediono pun sebetulnya sudah patut dijadikan tersangka karena posisinya saat itu adalah sebagai penanggung-jawab, yakni Gubernur BI.

Selain  menurut RR1 yang menyebut dugaan gratifikasi yang membuat Boediono terpilih jadi cawapres, juga menurut pemikiran saya yang lebih melihat Boediono sebagai sosok yang nampaknya sangat mudah dikendalikan oleh SBY dibanding dengan sosok cawapres yang diajukan saat itu oleh parpol koalisi.

Sepertinya SBY memang sangat kuatir jika harus memilih cawapres dari salah satu kader parpol koalisi. Yakni kuatir jangan-jangan nantinya akan “digoyang” oleh pasangannya (wapres) karena berasal dari kalangan parpol. Sehingga, meski dinilai minim prestasi, Boediono pun menjadi pilihan SBY.

Saya bisa menduga, bahwa alasan SBY harus memilih Boediono nampaknya terbilang “licik”, yakni supaya pemerintahan bisa berjalan aman dan tidak terusik meski harus melakukan kebijakan apapun. Sebab Boediono sebagai Wapres tentunya diyakni lebih patuh dan tunduk kepada SBY dibanding jika wapresnya berasal dari kalangan parpol lainnya.

Persoalannya kemudian adalah: apa yang bisa dipersembahkan sebagai kontribusi nyata dari seorang Boediono untuk menduduki jabatan Wapres…??? Pertanyaan inilah sebetulnya yang memaksa orang untuk akhirnya harus memunculkan pandangan bahwa cerita mati (omong kosong) jika Boediono tidak melakukan “apa-apa” lalu kemudian bisa dengan mudahnya dipilih sebagai cawapres, sampai-sampai bisa mengalahkan calon-calon kuat dari parpol koalisi lainnya.

Dugaan gratifikasi dalam pemerintahan SBY sepertinya tidak hanya sampai kepada posisi Wapres. Dan untuk memperkuat serta mengamankan pemerintahannya, SBY juga patut diduga telah memberikan gratifikasi kepada sebagian besar menterinya. Besar dugaan saya salah satunya adalah Dahlan Iskan (DI), dari dirut PLN lalu menjadi Menteri BUMN. Apa hebatnya…???

DI memang sangat hebat karena mampu “membantu” suksesnya pencitraan SBY di seluruh media cetak jaringan Jawa-Pos Grup mulai sejak Pilpres 2004 hingga 2009 silam.

Sedikit tentang DI yang saya tahu, meski hanya sepintas tetapi menyimpan bekas dalam ingatan. Yakni, (mencoba mengingat) sebelum saya mengundurkan diri dari Harian FAJAR Makassar (Jawa Pos Grup) tahun 1999. Pertama kali saya melihat langsung DI sekitar tahun 1997. Yakni pada sebuah rapat kerja (Raker) akhir tahun redaksi di lantai III Harian FAJAR, Jalan Racing Center Makassar.

Kala itu DI tiba-tiba nongol dan bergabung dalam rapat. Seluruh wartawan, kecuali petinggi FAJAR, bertanya-tanya dalam hati, siapa gerangan “gembel” yang berani masuk ke dalam ruangan rapat pada hari itu. Sebab, DI hanya tampil “kusut” memakai baju oblong dan celana pendek putih, juga bersepatu merek “dragon-fly” putih, membuat kulit tubuhnya yang hitam makin jelas terlihat.

Setelah diperkenalkan oleh Wapemred Aidir Amin Daud  (kini menjabat salah satu Dirjen di Kemenkumham), barulah teman-teman sesama wartawan mengetahui bahwa “gembel” itu ternyata “The Big-Boss”. Seketika kita semua yang hadir dalam rapat tersebut merasa salut dengan karakter DI yang amat sederhana itu.

Sayangnya, keluhan dan masukan yang ingin ku sampaikan secara langsung usai DI memberikan sambutan dan arahan dalam rapat tersebut, enggan ia dengar.  Saat ku sapa di antara sedikit kerumunan teman-teman, DI hanya berlalu begitu saja dikawal sejumlah petinggi Harian FAJAR. Dan sejak itu, saya menilai DI tidak punya sensitivitas sebagai seorang “big-boss”.

Kembali mengenai gratifikasi. Pemerintahan SBY nampaknya hanya “dihuni” oleh orang-orang yang telah memberikan “jasa” besarnya saat momen suksesi (Pilpres) tanpa diikuti dengan pertimbangan latarbelakang keahlian dan keprofesionalan seseorang.

Selain DI, tentu ada beberapa menteri atau pejabat yang diduga bisa menduduki jabatan saat ini karena pula sebuah “gratifikasi”. Bukankah saat ini seluruh parpol koalisi bisa mendapat jatah posisi sebagai menteri (atau jabatan lainnya) karena hanya dinilai “berjasa” telah menyumbangkan suara kemenangan SBY-Boediono..???

Jika memang hanya pertimbangan “jasa” seseorang bisa menjadi wapres atau menteri dan pejabat negara lainnya, maka pantas saja Bangsa dan Negara ini sulit berkembang secara pesat karena sebagian besar pejabat lebih merasa jabatannya adalah  sebagai “imbalan” yang layak untuk “hanya dinikmati”, bukan untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung-jawab.

Dan apabila cara-cara seperti ini yang menjiwai terbentuknya sebuah pemerintahan, maka rakyat miskin tetap menjadi miskin dan tidak akan mendapatkan kesejahteraan sampai kapan pun. Sebab, Sang Penguasa tentu hanya lebih banyak berpihak kepada Sang Pemberi Jasa. Dan kondisi ini umumnya juga terjadi di hampir semua daerah di tanah air.

Sehingga, jika KPK tak juga bisa menuntaskan kasus Bank Century yang diduga Boediono adalah sosok yang paling bertanggungjawab, maka jangan salahkan jika publik kemudian juga memunculkan dugaan bahwa: “jangan-jangan KPK saat ini juga bagian dari hasil gratifikasi? Atau mungkin KPK sudah berada di wilayah gravitasi sang Penguasa?”
-----------

*Sumber: Kompasiana

Rabu, 25 Desember 2013

SBY akan Somasi Rizal Ramli: “Bola Panas Siap Di-gol-kan”

Jakarta, [RR1online]:
DUGAAN kuat dari Rizal Ramli yang menilai Boediono telah menerima gratifikasi jabatan sebagai Wapres, nampaknya telah menjadi bola panas yang kini siap ditendang dan digolkan ke gawang Kasus Bank Century. Bagaimana tidak, lantaran dugaan yang dilontarkan Rizal Ramli itu, SBY melalui pengacaranya akan melayangkan somasi kepada mantan Menko Perekonomian tersebut.

“Secepatnya kami kirimkan surat dan somasi,” ungkap pengacara keluarga SBY, Palmer Situmorang, seperti dikutip dari sebuah koran ibukota, Selasa (24/12/2013).

Rencana untuk melakukan somasi kepada Rizal Ramli itu pun spontan mendapat sorotan dari berbagai pihak dan kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat.

Ketua Presidium Ind Police Watch (IPW) Neta S Pane setuju dengan pendapat bahwa somasi itu sebagai bagian dari upaya kriminalisasi yang dilakukan SBY terhadap Rizal Ramli yang dikenal sebagai tokoh oposisi nasional.

Kriminalisasi oleh penguasa terhadap lawan politiknya, kata Neta, sejak dulu sudah banyak terjadi sehingga saat ini hal itu bukanlah tindakan populer. Bahkan kini tindakan tersebut cenderung menjadi tindakan kontraproduktif yang merugikan bagi pelakunya.

“Somasi itu akan menguntungkan publik. Sebab nanti akan terbuka secara transparan dimana posisi SBY dan Boediono saat pencalonan sebagai capres dan cawapres tahun 2009,” ujar Ketua Presidium Ind Police Watch (IPW) Neta S Pane. Seperti dilansir rmol.

Neta mengatakan pilihan menjadikan Boediono sebagai cawapres SBY secara tiba-tiba jelang Pemilu 2009 memang cukup aneh dan menimbulkan tanya. Boediono bukanlah kader Partai Demokrat dan tidak masuk daftar sembilan Cawapres yang diumumkan SBY, namun kemudian dialah yang diusung.

“Kenapa Boediono tiba-tiba menjadi cawapres padahal sebelumnya tidak pernah muncul? Apa sumbangsih konkrit Boediono dalam pencalonan? Semuanya akan terbuka terang benderang jika kasus ini dicuatkan,” tutur Neta.

Neta yakin dengan somasi tersebut, maka misteri bahwa permintaan agar Boediono menyelamatkan Bank Century sebenarnya untuk mencari amunisi sebagai bekal menghadapi Pilpres, dan jabatan Wapres untuk Boediono sebagai gratifikasi politik bisa terkuak.

“Dengan begitu KPK bisa lebih cepat membawa para tersangka Century ke Pengadilan Tipikor,” pungkas Neta.
Sementara itu, Rizal Ramli yang juga selaku Anggota Gerakan Indonesia Bersih (GIB) menyatakan siap meladeni rencana somasi pengacara keluarga Presiden SBY kepada dirinya terkait pernyataannya beberapa waktu lalu yang menyebutkan, bahwa jabatan Wakil Presiden (Wapres) Boediono adalah hadiah dari SBY atau gratifikasi politik setelah berhasil mengucurkan bailout Bank Century.

Kesiapan ekonom senior Rizal Ramli meladeni somasi pengacara SBY ini disampaikan oleh Koordinator GIB Ahdie M Massardi yang juga Mantan Jurubicara Kepresidenan era Gus Dur, Selasa (24/12/2013).

“Kami siap meladeni langkah panik SBY. Tentu saja yang akan senang nanti rakyat Indonesia karena di pengadilan akan kami buktikan bahwa Boediono dan Sri Muilyani mendapat gratifikasi jabatan atas jasanya menggelontorkan triliunan uang rakyat untulk bailout Bank Century,” tegas Adhie, seperti dikutip pesatnews.

Adhie bahkan mengaku nantinya akan siap membawa saksi-saksi yang bekas orang dekat SBY. “Kalau perlu, hasil sadapan percakapan SBY dan SMI saat di Amrik! Ini bisa mempercepat KPK menambah tersangka skandal Century,” ujar Adhie serius tapi santai tersenyum.

Menurutnya, pihak Rizal Ramli justru menyambut baik somasi tersebut. Karena akan semakin membuka kesempatan untuk menjelaskan kepada publik siapa sebenarnya Boediono.  Bahkan, kubu SBY sebaiknya langsung membawa kasus itu ke ranah hukum, tidak perlu permintaan klarifikasi atau somasi. “Supaya semakin jelas,” lontar Adhie.

Secara terpisah, Abdul Muis Syam selaku Koordinator Forum Gerakan Berantas Korupsi (For-Gebrak) menilai, bahwa somasi itu nantinya akan membuat bola panas yang telah ditendang oleh Rizal Ramli itu semakin berada di mulut gawang. “Somasi yang akan dilayangkan SBY kepada Rizal Ramli itu justru akan lebih menelanjangi peran Boediono dalam kasus Bank Century. Sehingga jika diibaratkan sebuah bola, maka bola itu akan semakin mudah digolkan,” ujar Muis melalui status facebooknya.

Lebih jauh, Muis yang juga sebagai Ketua Presidium Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI) Provinsi Gorontalo itu mengatakan, dengan rencana somasi tersebut akan semakin menunjukkan bahwa SBY sebagai Presiden dua periode itu memang sepertinya tak punya niat baik dan keseriusan untuk membantu KPK dalam hal pemberantasan korupsi.

“Harusnya bukan somasi yang ia (SBY) layangkan, tetapi surat pengunduran diri karena lebih cenderung berusaha menyelamatkan partainya daripada membuat gebrakan besar untuk kesejahteraan rakyat. Lihat saja sekarang ekonomi masih sakit dan tak kunjung pulih, nilai rupiah anjlok, utang negara menggunung, defisit keuangan negara yang terus minus, pengangguran bertambah, korupsi merajalela, pemadaman listrik yang masih terus terjadi, anak-anak sekolah menyeberang jembatan rusak, dan lain sebagainya. Mengapa bukan semua itu yang dibenahi agar Rizal Ramli dan tokoh oposisi lainnya bisa berbalik mendukung pemerintahan saat ini..???” jelas Muis.

Olehnya itu, menurut Muis, jika Rizal Ramli melontarkan kritik, maka harusnya SBY bergegas memperlihatkan kinerja yang baik sebagaimana yang diharapkan oleh seluruh rakyat Indonesia, sekaligus membuktikan bahwa pasangan SBY-Boediono memang patut disebut pemimpin. “Tapi kenyataannya sekarang rakyat tidak tahu kinerja hebat seperti apa yang telah dilakukan oleh SBY-Boediono? Rakyat hanya tahu ada kenaikan harga BBM, serta ada BLSM. Dan rakyat hanya mendengar bahwa istana saat ini sedang disebut-sebut sebagai sarang korupsi, baik yang terlontar dari kesaksian di pengadilan maupun yang disuarakan melalui aksi-aksi demo dari mahasiswa dan LSM. Lalu salahkah jika Rizal Ramli sebagai tokoh oposisi melempar bola panas yang memang telah menggelinding di tengah-tengah masyarakat…???” pungkas Muis yang juga pernah menggeluti dunia jurnalistik di Jawa Pos Grup itu.(map/ton)

Senin, 09 Desember 2013

Tuan Presiden, Saya Menangis Menulis Artikel ini

Dikeroyok (Sumber: yustisi.com)
[RR1online]:
WAHAI Tuan Presiden, dan para pejabat negara beserta para elit parpol yang saat ini disorot terindikasi sebagai “perampok” uang rakyat.

Tahukah kalian, bahwa rakyatmu kini sedang kelaparan, haus, karena terhimpit ekonomi mereka pun tak mampu lagi berpikir jernih, hingga banyak yang terpaksa mencuri demi mempertahankan hidup?

Akibat dari kelaparan dan kehausan, mereka menjadi bodoh dan sulit menahan diri. Lalu mereka pun saling memangsa dan membunuh satu sama lain.

Saya sangat sedih mengetahui peristiwa yang menimpa Ngadimun (45), warga Dusun Kadisono, Desa Guwosari, Kecamatan Pajangan, Bantul. Gara-gara ayam, nyawanya melayang.

Dia dileroyok warga hingga babak belur setelah ketahuan mencuri ayam di Pedukuhan III Gelaran, Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Jumat (6/12/2013) dinihari.

Meski Ngadimun berusaha kabur dan bersembunyi di areal persawahan, namun warga tetap mengepungnya di persawahan, hingga Ngadimun akhirnya keluar dari persembunyiannya dan angkat tangan  lalu menyerahkan diri.

Namun sungguh biadab, warga itu lebih menghargai nyawa ayam daripada nyawa seorang manusia. Ngadimun yang sudah menyerah langsung dikeroyok babak belur oleh warga dengan cara main hakim sendiri hingga nafas Ngadimun pun terputus seketika.

Wahai Tuan Presiden, dan para pejabat negara beserta para elit parpol, saya menangis menulis artikel ini. Sebab ini adalah bukti, bahwa rakyat yang telah bersembunyi DALAM GELAP karena mencuri ayam masih dapat tertangkap, lalu mati. Tetapi koruptor yang bersembunyi DALAM TERANG-BENDERANG, di atas meja pula, hingga kini masih juga belum tertangkap. Bahkan masih bebas menikmati hasil jerih payahnya sebagai koruptor perampas hak-hak rakyat.

Selamat hari Anti-Korupsi sedunia, 9 Desember 2013.
---------
Sumber: Kompasiana

Kamis, 05 Desember 2013

SBY Tak “Berbudi”, Budi Tak “Bermulia” (Centurygate)

[RR1online]
KASUS Bailout Bank Century (Centurygate) sungguh sangatlah menyita perhatian masyarakat, dan tentu meresahkan pula. Sebab, kasus yang menyedot uang negara 6,7 Triliunan Rupiah itu, hingga kini belum jua dapat diketahui kapan ujungnya. Bukti bahwa gigi KPK masih tumpul.

Padahal sejauh ini,  sumber “bau busuk” centurygate serta kasus korupsi lainnya sudah sangat jelas tercium dan tersebar ke mana-mana hingga mengundang dugaan yang mengarah kepada para petinggi di negeri ini. Bahkan sangat besar dugaan, bau busuk yang menyengat itu berasal dari istana.

Meski dinilai sangat lambat, tetapi KPK sebetulnya sudah memperlihatkan perkembangan dari proses kasus Century ini sedikit demi sedikit. Yakni telah berhasil ditetapkannya dua tersangka, masing-masing adalah anak buah Boediono saat masih sama-sama di Bank Indonesia (BI), yaitu Budi Mulya dan Siti Fajriah. Budi Mulya kini telah di bui, sementara Siti Fajriah masih stroke sejak Bank Century ini resmi menjadi kasus.

Walau anak buahnya sudah dalam kondisi seperti itu, Boediono malah masih sempat menyatakan bahwa apa yang dilakukannya pada 2008 silam itu adalah merupakan “Tindakan Mulia”.

Banyak orang yang kurang paham dengan tindakan mulia apa yang dimaksud Boediono? Sebab, kenyataannya, banyak misteri dan keanehan yang mewarnai proses penanganan Bank Century tersebut hingga kepada pencairannya. Termasuk mengalir ke mana uang negara yang telah dicairkan itu?

Atau apa mungkin yang dimaksud Boediono sebagai tindakan mulia itu adalah mengarah kepada sebuah nama sebagai pelaku yang melakukan tindakan atas kasus tersebut? Artinya, tindakan “mulia” = pekerjaan yang hanya dilakukan Budi “Mulya”..? atau mungkin ada nama lain yang identik dengan kata “mulia”…?

Entahlah..? Yang jelas, oleh banyak pihak, Boediono dinilai telah mencoba melakukan upaya pembelaan diri (cuci-tangan) dan seakan-akan yang bersalah adalah bukan dirinya, tetapi orang lain.

Sayangnya, upaya “cuci-tangan” yang coba dilakukan Boediono itu dinilai tidak realis. Sebab, sangat tidak logis dan sama sekali tidak mulia jika Boediono ketika itu sebagai Gubernur BI kini berhasil menikmati jabatan sebagai Wapres, sementara yang harus menanggung seluruh risikonya adalah para anak buahnya. Sungguh kasihan dan memprihatinkan jika punya pimpinan seperti itu…!?!

Boediono Sudah Pernah Coba “Merampok Bank”
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla secara tegas telah menyatakan, bahwa kasus Bank Century tersebut adalah merupakan perampokan uang negara.

Dan secara gamblang mantan Menko Perekonomian, Rizal Ramli, pun dengan tegas dan terang-terangan menyebut Boediono (yang kala itu sebagai Gubernur BI) telah pernah (sebelum Bank Century) melakukan percobaan perampokan Bank Indover, namun gagal.

Begini ceritanya. Saat menjabat sebagai Gubernur BI tahun 2008, Boediono pernah minta izin kepada DPR dan KPK untuk melakukan bailout terhadap Bank Indover (Bank milik Pemerintah Indonesia di Belanda).

Saat itu, kata Rizal, Boediono telah mempresentasikan di hadapan DPR soal dampak ekonomi jika Bank Indover tak disuntik Rp.5 Triliun. “Jika Indover tidak di suntik Rp 5 triliun, kepercayaan investor rontok, arus modal asing berkurang, gonjang ganjing tukar rupiah. Itu yang diungkapkan Boediono (ke DPR),” ungkap Rizal Ramli saat menghadiri sebuah diskusi di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (29/11).

Setelah dari DPR, kata Rizal, Boediono kemudian menemui Ketua KPK saat itu Antasari Azhar. Sayangnya, KPK tak mengizinkan. Antasari malah berjanji akan menangkap Boediono jika BI benar-benar mem-bailout Indover. “..(Boediono) datang menemui Antasari, minta izin agar diperkenankan mem-bailout Bank Indover Rp 5 triliun. Dia (Boediono) lupa kalau Antasari mantan asisten Jaksa Agung Marzuki Darusman, waktu itu Indover bermasalah, dan Marzuki pergi ke Belanda untuk cek, aspek kriminal. Kalau kolaps bisa berdampak enggak ke Indonesia,” ungkapnya.

Lebih jauh, Ketua Umum Kadin ini menceritakan, kala itu gubernur Bank Belanda menyatakan jika Indover ternyata sudah ditangani oleh pemerintah Belanda. Jadi tidak akan berdampak pada Indonesia kalau pun bank tersebut collapse. “Gubernur Central Bank Belanda bilang enggak ada apa-apanya karena ini sudah dijamin,” ungkapnya.

Sehingga jika Bank Indover dihubungkan dengan kasus Bank Century, maka menurut Rizal, ide mem-bailout Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun sebetulnya hanya bohong belaka. Sebab Boediono kala itu gagal merampok Bank Indover.

“Ide bailout Century itu bohong, ia (Antasari) mengancam jika pak Boediono suntik Rp 5 triliun saya akan langsung tangkap. Batal gunakan Bank Indover. Dua minggu kemudian ada ide nambal bank bocor lagi, Bank Century. Akhirnya disuntik Rp 6,7 triliun,” ujar Rizal Ramli mengungkapkan sikap tegas Antasari ketika itu.

Sehingga itu, Rizal Ramli menduga kuat, bailout Century itu sebetulnya hanya digunakan untuk dana kampanye di 2009. Menurut dia, sumber dana politik itu salah satunya dari perampokan bank.

Selaku salah satu anggota Gerakan Indonesia Bersih (GIB), Rizal Ramli, bahkan mengurai, bahwa ada tiga cara mengumpulkan uang yang biasa dilakukan oleh penguasa yang ingin kembali berkuasa dalam pemerintahan. Setelah terkumpul, uang tersebut akan digunakan sebagai dana kampanye. Yaitu, dari kegiatan impor, perizinan, dan perampokan bank. “Uang, dana politik itu dihasilkan dari impor pangan, impor beras, impor kedelai, migas, distribusi perizinan dan ketiga dari perampokan bank,” pungkasnya.

Apa yang diungkapkan Rizal Ramli ini sebetulnya bisa menjawab pertanyaan tentang mengapa harus Boediono yang ditunjuk sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) pada Pilpres 2009 itu. Dan sekaligus menjawab mengapa Jusuf Kalla (JK) seakan-akan tak dibutuhkan lagi berdampingan untuk kedua kali dengan SBY?
Secara logika pun bisa ditemukan jawabannya. Bahwa Boediono ditunjuk sebagai Cawapres, boleh jadi karena memang sebagai “balas budi” atau gratifikasi karena telah berhasil “menyedot” uang negara melalui Bank Century sebagai “pipet (alat) sedotannya”.

Dikutip Metrotvnews. Rizal Ramli mengungkapkan bahwa sebenarnya ada sembilan orang nama yang akan digodok sebagai cawapres SBY pada 2009, dan tidak ada nama Boediono. Tetapi, ketika dana talangan tersebut sukses, maka muncullah nama Boediono untuk menjadi cawapres SBY.

Lalu pertanyaan mengenai mengapa JK tak dibutuhkan lagi, padahal publik tahu persis bahwa ATM (Anggaran Tunjangan Menang) pada Pilpres 2004 paling banyak berasal dari kantong JK? Jawabnya, juga boleh jadi karena Boediono saat itu telah mampu menyiapkan dana dari hasil “perampokan” Bank Century tersebut.

Artinya, jika saja Boediono tak berhasil mem-bailout Century, maka SBY rasa-rasanya tidak akan memilih Boediono “secara gratis” untuk jadi Cawapres 2009. Sebab, bukankah jika menggelar kampanye pasangan pilpres itu sangat membutuhkan dana yang tidak sedikit?

Pihak-pihak yang Harus Bertanggungjawab
Dikutip dutaonline. Para pakar hukum mengingatkan, ada tiga lembaga yang bertanggung jawab dalam kasus bailout Bank Century. Ketiga lembaga itu adalah Bank Indonesia yang saat itu dipimpin Boediono, LPS yang bertanggung jawab kepada Presiden dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pimpinan Sri Mulyani. Khusus LPS, pada akhirnya yang bertanggung jawab adalah Presiden SBY.

Bahkan dengan sangat tegas, Ketua DPP Partai NasDem Akbar Faizal juga mengatakan, Presiden SBY merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam kasus bailout Bank Century. Sebab, SBY sebagai kepala negara dianggap mengetahui aliran dana bailout Century Rp6,7 triliun itu. “Presiden (SBY) adalah penanggung jawab keuangan negara. Presiden pasti tahu dan harus tahu soal Century. Jangan pura-pura bodoh. Saya marah!” kata inisiator Pansus Bank Century Akbar dalam status BBM-nya.

Menyikapi seluruh uraian tersebut di atas, maka bisa dikatakan bahwa saat ini Boediono sedang cuci-tangan dan SBY pun akan coba lepas tangan. Dan mungkin seperti itulah yang sedang ingin dilakukan oleh kedua orang yang telah diambil sumpahnya sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2009-2014 itu.

Jika seandainya KPK benar-benar berani menetapkan Boediono sebagai tersangka, lalu SBY kemudian akan coba lepas tangan ketika diketahui bahwa Boediono ketika itu diduga sebetulnya hanya sebagai “aktor pengganti” dalam menggaet dana melalui Century, maka patut disebut SBY tak lagi “berbudi”.

Heran juga saya, kok kasus Bank Century ini cuma lebih banyak “melibatkan” nama “Budi dan Mulia” (Mulya), yaa.. (tersangka maupun saksi)??? Mulai dari Budi Mulya, Boediono (Budiono), Sri Mulyani, Budi Sumanto, Muliaman. Serta ada Budi yang kedua-duanya telah meninggal dunia dan sangat mengetahui kasus Century ini, yaitu Budi Rochadi (mantan Deputi Gubernur BI) dan Budi Sampoerna (Mantan Komisaris PT. HM Sampoerna Tbk). Sampai-sampai pernah pula muncul nama jargon pada pilpres 2009: “SBY-Berbudi”. Apakah karena memang orang yang terlibat dalam kasus Bank Century itu benar-benar telah berbudi dan bermulia…??? Hanya KPK yang bisa menjawabnya. Semoga KPK tidak menunda-nunda lagi prosesnya…!!!

Dan maaf jika semua itu ternyata benar adanya..!!!

SALAM PERUBAHAN…!!!!!
------
*Sumber: kompasiana