Jumat, 29 November 2013

Rizal Ramli: Boediono tidak Ksatria, Membiarkan Anak Buah Dipenjara dan Stroke

Jakarta, [RR1online]:
TIDAK ada prajurit yang salah, yang salah adalah komandannya”. Itulah prinsip kemuliaan di dunia militer. Bukan komandan militer (atasan) namanya jika tidak menganut prinsip tersebut. Dan begitu pun yang seharusnya secara mulia diterapkan di dunia pemerintahan.

Masih ingat dengan peristiwa penyerangan Lapas Cebongan? Tentulah! Bahkan dengan sikap ksatria sejumlah anggota Kopassus Grup II Kandang Menjangan Kartosuro telah mengakui perbuatannya sebagai pihak yang melakukan penyerang Lapas di Sleman, Yogyakarta.

Namun sebelumnya, Danjen Kopassus Mayjen TNI Agus Sutomo pernah menyatakan, bahwa 11 tersangka penyerangan LP Cebongan adalah anggotanya dan sebagai komandan, dia paling bertanggung jawab. “Yang jelas 11 orang itu adalah anak buah saya dan sayalah atasannya, Mayjen TNI Agus Sutomo,” kata Agus di Markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur. Seperti dikutip detik.com. Seraya menambahkan, bahwa orang yang paling terdepan bertangung jawab di institusi Kopassus ini adalah dirinya.

Menanggapi pengakuan anggota Kopassus dan sikap Agus tersebut, mantan Asisten Teritorial Kepala Staf TNI AD,  Mayor Jenderal (Purn) Saurip Kadi menilai, tindakan seperti itulah yang seharusnya ditiru para koruptor, yakni mengakui kesalahan dengan penuh sikap ksatria.

“Menurut saya, sikap ksatria Kopassus muda ini perlu ditiru oleh para koruptor, oleh para penyelenggara negara yang telah salah menyelenggarakan kekuasannya demi kepentingan sendiri dan kelompoknya, sehingga negara ini amburadul,” tutur Saurip, seperti dilansir tribunnews.

Saurip mengimbau sebaiknya koruptor mengaku saja, sebab perbuatan mereka telah merusak masa depan generasi muda. “Ketika berbuat salah, segera mengaku untuk kepentingan anak-anak kita, cucu kita, dan masa depan. Jadilah seperti mereka. Itulah yang aku kagum dari 11 anggota Kopassus muda,” paparnya.

Lalu bagaimana dengan kasus Bank Century? Hehehee… Sungguh sangat jauh.. jauh sekali!
Seusai diperiksa dan dimintai keteranganya oleh KPK, Boediono malah berusaha tampil berwajah “suci” dengan menunjuk bahwa yang dilakukannya itu adalah sebuah tindakan mulia.

Tindakan mulia yang dimaksud adalah karena telah melakukan “penyelamatan” sehingga Indonesia tidak diporak-porandakan oleh krisis ekonomi.

Terus terang, saya sangat geli mendengar pernyataan Boediono yang menyebutkan bahwa yang dilakukannya saat itu adalah tindakan mulia.

Saya pasti sependapat dengan Boediono apabila langkah penyelamatan yang dimaksud itu tidaklah memakai uang negara sampai triliunan rupiah, seperti yang pernah dilakukan oleh Rizal Ramli saat menyelamatkan BII saat menjabat Menkeu, Juli 2001 silam. Tetapi jika penyelamatan itu dilakukan dengan memakai uang negara yang sangat besar, maka siapa pun yang menjadi Gubernur BI saat itu pastilah mampu.

Apalagi dengan mengetahui akibat tindakan mulia yang telah dilakukannya itu, nyatanya hanya membuat sejumlah pihak terpaksa menjadi korban. Di antaranya,  terdapat dua anak buah Boediono (saat menjabat Gubernur BI) sudah jadi tersangka, yakni mantan Deputi Bidang Moneter  Budi Mulya yang kini telah mendekam di penjara, serta  mantan Deputi Bidang Pengawasan Siti Fajriah yang saat ini malah sedang terkapar sekarat karena sakit stroke.

Itukah yang dimaksud sebagai sebuah kemuliaan? Dan apakah KPK juga akan ikut sepakat menunjuk hal itu sebagai tindakan mulia dari seorang Gubernur BI yang digaji oleh negara hingga sekitar Rp. 150 juta perbulan? (Gaji Gubernur BI sekarang -2013 hampir Rp.200 juta perbulan, dan itu baru gaji pokok, belum ini-itu dan lain sebagainya).

Menanggapi pernyataan Boediono seusai diperiksa KPK atas kasus Century tersebut, Rizal Ramli geleng-geleng kepala dan menyebut pernyataan seperti itu hanya dilontarkan oleh pemimpin yang berjiwa buruk dan tidak ksatria.

Rizal Ramli menilai, Boediono berusaha cuci tangan, seolah-olah dirinya tidak mengetahui soal pembengkakan dana talangan untuk Bank Century dengan mengemukakan alasan, bahwa itu adalah kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Pengawas Bank.

“Pak Boediono bersikap ksatrialah, sebagai orang Jawa. Malu, anak buah sudah dipenjara padahal nggak ngerti apa-apa. Kasihan Ibu Siti Fajriah sebagai Deputi Gubernur paling jujur sampai kena stroke,” ajak Rizal Ramli,

Rizal Ramli yang pernah menjabat Menko Perekonomian di era Presiden Gus Dur itu menyebutkan, sebagai orang yang pernah di dalam birokrasi, dirinya tahu persis, bahwa keputusan strategis selalu pimpinan yang ambil. “Anak buah hanya dimintai pendapatnya, dan biasanya mereka hanya perbaiki plus minusnya. Dan yang mengambil keputusan adalah pemimpinnya,” ujar Rizal Ramli. Seperti dilansir Aktual.co. Lalu kenapa anak buah yang harus dikorbankan..???

Sehingga itu, Rizal Ramli mengimbau, sudah waktunya Boediono mengaku dan bersikap ksatria. “Laksanakanlah ajaran luhur kebudayaan Jawa tentang sikap kejujuran dan sikap kesatria,” imbuh Rizal.(map/ams)

Kamis, 28 November 2013

Alasan Mengapa Boediono Cs “Harus” Membohongi JK

Jakarta, [RR1online]:
TENTU saya sudah dibohongi”. Demikian kurang lebih yang dilontarkan Jusuf Kalla (JK) menjawab pertanyaan Karni Ilyas yang menghubunginya via telepon dalam acara Indonesia Lawyers Club, Selasa malam (26/11/2013).

Lalu pertanyaannya, mengapa atau alasan apa sebetulnya JK “harus” dibohongi oleh Boediono, Sri Mulyani beserta Cs ketika itu?

Sebelum menjawabnya dari hasil analisa dan pengamatan yang sangat mendalam, maka mari kita perhatikan 3 (tiga) keganjilan yang mewarnai kasus bail-out Bank Century di sekitar 5 (lima) tahun silam itu.

Bahwa, Wakil Presiden RI periode 2004-2009 Jusuf Kalla (JK) pun telah mengungkapkan ada beberapa hal aneh dan ganjil dalam pengambilan keputusan bail-out Bank Century. Keanehan dan keganjilan itu diakuinya juga secara resmi telah disampaikan saat dirinya diperiksa oleh KPK, Kamis (21/11/2013).

Dari berbagai sumber, berikut ini adalah 3 (tiga) keanehan dan keganjilan yang diungkapkan JK, yakni:

1. Bank Century gagal hanya Miliaran, tapi ditalangi Triliunan

JK mengaku tidak habis pikir, kenapa Bank Century diberikan bailout sampai triliunan rupiah. Dana Bank Century yang mengalami kegagalan hanya Rp.630 Miliar, tapi diberi bailout Triliunan Rupiah secara bertahap beberapa kali sampai mencapai total Rp6,7 Triliun.

“Yang aneh sebenarnya bahwa ada bank gagal, gagalnya Rp.630 miliaran, tapi dalam waktu 3 hari dibayar Rp.2,5 Triliun,” ucap JK usai menjalani pemeriksaan.

2. Keputusan diambil hanya dalam beberapa jam

JK mengungkapkan, dirinya menerima laporan tentang Bank Century dari Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono dalam satu rapat pada 20 November 2008 sore.

“Ibu Sri Mulyani dan Boediono (saat itu) semua sepakat dan menjelaskan bahwa tidak ada krisis ekonomi. Tidak ada itu. Semua aman. Satu per satu,” katanya.

Beberapa jam kemudian, lanjut JK, mereka rapat di Kementerian Keuangan, dan pada 21 November 2008 ‘subuh’ tiba-tiba memutuskan adanya satu bank gagal berdampak sistemik yang membahayakan perekonomian Indonesia.

“Saya enggak tahu kenapa malam-malam (rapatnya),” ujarnya.

3. Proses Pengucuran Dana tidak transparan, dan terkesan main kucing-kucingan

JK merasa dirinya ketika itu menjadi pihak yang paling bertanggungjawab menjalankan pemerintahan, karena Presiden SBY kala itu sedang berada di luar negeri.

JK mengaku tidak diberitahu (tidak disampaikan) dan dilibatkan dalam rapat pengambilan keputusan tentang status Bank Century. Ia (cuma) diberitahu bahwa sudah ada rapat dan pengucuran dana dilakukan pada 25 November 2008 malam oleh Sri Mulyani dan Boediono.

JK tidak mengetahui pihak yang bertanggung jawab dalam penggelontoran dana bailout dan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP).

JK mengungkapkan dirinya tidak ikut dalam semua rangkaian rapat yang diselenggarakan oleh Dewan Gubernur BI maupun rapat yang digelar oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

JK juga mengatakan bahwa pada waktu itu tidak ada yang namanya bank gagal akibat dari krisis perbankan.
Demikian keanehan dan keganjilan versi JK yang dilakukan oleh Boediono Cs ketika itu terhadapnya.

Dan mari kita cermati satu-persatu dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan, lalu coba dianalisa secara logis (dengan merujuk berbagai sumber) dalam menjawabnya.

Bahwa, mengapa Bank Century diberikan bailout sampai triliunan rupiah, sementara dana bank Century yang mengalami kegagalan hanya Rp.630 Miliar?

Jawabnya, yang selebihnya boleh jadi dialirkan sebagai  injeksi ke “tubuh” Partai Demokrat agar dapat menjadi segar, kekar dan lebih berotot guna menaklukkan lawan-lawannya dalam pertarungan  politik di Pemilu 2009. Termasuk adalah untuk menaklukkan JK, minimal untuk tidak berpasangan kembali dengan SBY, lalu sebagai gantinya adalah Boediono. Dan tanpa disadari, hal ini tidak mampu dibaca oleh JK ketika itu.

Jawaban di atas adalah sekaligus menjawab pertanyaan lainnya, yakni mengapa Sri Mulyani dan Boediono Cs sepakat mengatakan “aman” tidak ada krisis ekonomi kepada JK saat itu. Serta, mengapa proses pengucuran dananya tidak transparan, dan terkesan main kucing-kucingan?

Karena menurut JK, pada rapat yang digelar hingga dini hari, mereka malah memutuskan mengambil kebijakan bail-out untuk Bank Century dengan alasan demi penyelamatan negara atas krisis ekonomi akibat adanya bank gagal berdampak sistemik.

Kesimpulannya, bahwa dengan memperhatikan dan mencermati keanehan dan keganjilan yang telah dikemukakan JK, maka keanehan dan keganjilan tersebut adalah sebetulnya boleh jadi memang sudah diskenariokan sebagai upaya untuk “menendang dan melempar” JK keluar dari lingkaran kekuasaan.

Sebab, aneh bin ajaib kiranya jika seorang Boediono (yang tak punya partai) ternyata mampu dipilih menjadi cawapres 2009 ketika prestasi terakhirnya adalah karena dianggap melakukan tindakan mulia, yakni berhasil menyelamatkan krisis ekonomi melalui bailout kepada Bank “kecil” Century, yang pada kenyataannya bank ini malah menjadi kasus perampokan uang negara. Anehkan? Yang ada dan yang muncul justru hanya Boediono yang berhasil menjadi Wapres, sementara uang (bail-out) itu tidak tahu menguap ke mana?  “Apalagi namanya kalau bukan gratifikasi jabatan,” lontar Rizal Ramli, satu-satunya Capres 2014 yang paling tegas melawan korupsi.>map/ams

Boediono Harusnya Sudah Jadi “Kado” Ultah ke-5 Kasus Bank Century

[RR1online]:
MASALAH Bank Century kini sangat identik dengan nama Boediono. Artinya, jika mendengar kata Century maka yang terbayang di benak adalah sosok Boediono dan Sri Mulyani. Sehingga kedua sosok tersebut saat ini seakan sudah menjadi sebuah “branding” ketika membahas masalah bank yang telah berubah nama menjadi Bank Mutiara itu.

Pembahasan dan penanganan masalah bail-out Bank Century ini sudah sangat panjang, dan sungguh sudah amat melelahkan. Padahal substansi objek masalahnya sangat sederhana dengan bukti-bukti yang sudah dikumpulkan, serta siapa-siapa yang patut ditunjuk hidungnya sebagai perampok uang negara melalui bank tersebut juga sudah sangat jelas.

Padahal pula, tanpa dukungan hasil sadapan badan-badan intelijen asing, termasuk Australia yang konon sudah diserahkan ke KPK, dengan hasil forensik BPK saja sesungguhnya KPK sudah punya lebih dari cukup data untuk menangkap Boediono, Sri Mulyani dan bahkan SBY.

Sayangnya, yang terlibat dalam masalah tersebut bukanlah rakyat jelata. Coba kalau rakyat jelata?! Maka tentu persoalannya tidak serumit seperti saat ini. Itulah wajah hukum di negeri ini. Meski Abraham Samad selaku Ketua KPK telah mengatakan bahwa Boediono juga rakyat biasa, namun pada kenyataannya gigi KPK masih sulit mengunyah masalah ini karena Boediono saat ini masih terbungkus baju tebal Wakil Presiden.

Boediono memang telah diperiksa dua kali, itupun masih sebagai saksi. Dan kedua-duanya tidak dilakukan di kantor KPK seperti yang harus diberlakukan kepada para saksi ataupun tersangka kasus korupsi lainnya. Memang pemeriksaan di luar kantor KPK ini tidaklah terlalu masalah, tetapi tetap saja image publik mengarah bahwa masih terjadi diskriminasi dalam proses hukum di negeri ini. Saya tidak tahu, apakah KPK menerapkan taktik “pura-pura menunduk, tetapi menanduk” atau justru KPK hanya bagai kura-kura dalam perahu..?

Pemeriksaan pertama, Boediono telah diperiksa pada akhir April 2010. Kala itu, kasus Bank Century yang mengucurkan anggaran negara sebesar Rp 6,7 triliun itu masih dalam tahap penyelidikan. Dan pada awal Desember 2012, KPK telah menetapkan dua tersangka dalam kasus ini, yakni mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Pengelolaan Devisa Budi Mulya dan Deputi Guberur Bank Indonesia Bidang Pengawasan Bank Siti Chalimah Fadjrijah.

Di awal tahun 2010, DPR sebetulnya telah menjalankan tugasnya, membentuk Panitia Khusus (Pansus) yang bekerja keras selama tiga bulan untuk mengusut megaskandal yang melibatkan sejumlah pejabat tinggi itu, Boediono dan termasuk mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang kini memilih bekerja untuk Bank Dunia, serta pejabat negara lainnya.

Apalagi palu telah diketuk dalam rapat paripurna DPR, malam 3 Maret 2010 lalu. Saat itu, sebanyak 285 anggota (57 persen) DPR menyatakan bahwa bailout yang dikucurkan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk Bank Century atas usul dari BI adalah MELANGGAR sejumlah aturan hukum. Sementara 212 anggota (43 persen) menyatakan hal sebaliknya.

Dan tentu saja Boediono merupakan figur sentral dan paling menentukan di balik skandal dana talangan senilai Rp 6,7 triliun itu. Ia adalah pihak yang paling ngotot mengusulkan agar Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang secara ex officio dipimpin mantan Menteri Keuangan yang kini bekerja untuk Bank Dunia, Sri Mulyani, memberikan status baru kepada Bank Century, yakni “Bank Gagal Berdampak Sistemik”.

Selain itu, Boediono juga mengusulkan agar KSSK mengucurkan dana talangan sebesar Rp 632 miliar untuk mendongkrak rasio kecukupan modal bank itu.

Seperti dilansir teguhtimur.com. Usul dan sikap ngotot Boediono ini dipertontonkannya dalam rapat konsultasi, yang digelar mendahului Rapat KSSK menjelang tengah malam 20 November 2008. Di dalam rapat yang dihadiri oleh sejumlah pejabat otoritas keuangan Indonesia, Boediono meminta agar Bank Century yang beberapa saat sebelum itu, yakni dalam rapat terpisah di BI, ditetapkan sebagai “Bank Gagal yang Ditengarai Berdampak Sistemik” lalu secepat kilat bisa disepkati sebagai “Bank Gagal Berdampak Sistemik”.

Jejak sikap ngotot Boediono dapat ditelusuri dari transkrip rekaman pembicaraan dalam rapat konsultasi dan dokumen resmi notulensi rapat konsultasi. Dan kedua dokumen ini beredar luas di masyarakat akhir tahun 2009 lalu.

Dalam dokumen setebal lima halaman itu disebutkan bahwa rapat yang dipimpin Ketua KSSK Menkeu Sri Mulyani dibuka sebelas menit lewat tengah malam tanggal 21 November 2008. Juga disebutkan bahwa rapat digelar khusus untuk membahas usul BI agar Bank Century yang oleh BI diberi status “Bank Gagal yang Ditengarai Berdampak Sistemik” dinaikkan statusnya menjadi “Bank Gagal yang Berdampak Sistemik”, kalimat ditengarainya pun sudah hilang.

Setelah dibuka, Boediono diberi kesempatan untuk mempresentasikan permasalahan yang sedang dihadapi PT Bank Century Tbk. Kala itu Boediono menilai, selain harus dinaikkan statusnya menjadi “Bank Gagal yang Berdampak Sistemik”, Bank Century juga perlu dibantu dengan dana segar sebesar Rp 632 miliar untuk mendongkrak rasio kecukupan modal menjadi positif 8 persen.

Menyikapi presentasi Boediono, Sri Mulyani mengatakan bahwa reputasi Bank Century selama ini, sejak berdiri Desember 2004 dari merger Bank Danpac, Bank CIC, dan Bank Pikko, memang sudah tidak bagus. Setelah itu, Sri Mulyani memberi kesempatan kepada peserta rapat yang lain untuk memberikan komentar atas saran Boediono.

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menolak penilaian BI tersebut. Menurut BKF, “analisa risiko sistemik yang diberikan BI belum didukung data yang cukup dan terukur untuk menyatakan bahwa Bank Century dapat menimbulkan risiko sistemik. Menurut BKF, analisa BI lebih bersifat analisa dampak psikologis.”

Sikap Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) pun hampir serupa. Dengan mempertimbangkan ukuran Bank Century yang tidak besar, secara finansial Bank Century tidak akan menimbulkan risiko yang signifikan terhadap bank-bank lain, apalagi jika dikatakan akan menimbulkan efek domino. “Sehingga risiko sistemik lebih kepada dampak psikologis.”

Namun, Boediono tetap bertahan pada pendapatnya. Yang pada akhirnya, ia pun “memenangkan pertarungan”, karena di dalam Rapat KSSK yang digelar setelah rapat konsultasi dan berlangsung tertutup, Sri Mulyani akhirnya setuju untuk mengikuti saran Boediono.

Sejak skandal ini terbongkar, Boediono adalah pihak yang dianggap paling bertanggung jawab. Benar, bahwa keputusan bailout keluar dari lembaga yang dipimpin Sri Mulyani. Tetapi, dengan asumsi bahwa keputuan KSSK itu didasarkan pada rekomendasi BI, maka dapat dipahami bila ada pihak yang mengatakan bahwa Boediono memberikan assessment yang salah yang berakibat pada pengambilan keputusan yang salah pula.

Ibarat kata: garbage in, garbage out. Semuanya sudah terjadi, lalu terciumlah kebusukan para perampok uang negara itu.

Sebelum terbentuknya Pansus Centurygate di DPR, Sri Mulyani sebetulnya sempat menyesal dan mengatakan bahwa dirinya merasa tertipu oleh presentasi Boediono. Dari situlah Boediono menjadi sasaran yang paling empuk. Kesalahannya sangat kentara “di kening” dan terang benderang.

Sejumlah informasi panas dan desakan dari Rizal Ramli selaku tokoh oposisi bersama Jusuf Kalla serta para ormas anti-korupsi lainnya, selama ini boleh dikata berhasil mendobrak dan mengajak KPK agar tidak segan-segan untuk segera menuntaskan masalah bail-out Bank Century tersebut.

Kita mulai dari perjuangan Rizal Ramli yang sangat gencar menyerukan agar masalah Bank Century tersebut segera dituntaskan. Rizal Ramli mengaku tidak ingin Masalah Bank Century terus dilarut-larutkan dari tahun ke tahun tanpa ujung yang jelas.

Selaku Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARuP), Rizal Ramli tak henti-hentinya meneriakkan bahwa kasus Century merupakan kejahatan yang motifnya bukan melulu uang seperti korupsi yang dilakukan sekelas kepala daerah (gubernur, atau bupati). Menurutnya, kasus Century adalah kejahatan kerah putih yang motifnya adalah kekuasaan.

“Boediono kan jelas, awalnya tidak masuk daftar satu dari sembilan cawapres yang sudah dilist SBY, tapi begitu sukses menggolkan ini (bailout Century) langsung jadi cawapres. Lalu motif Sri Mulyani apa? tentu jabatan menkeu baru lagi,” kata Rizal Ramli. Seperti dikutip batampos.co.id.

Rizal Ramli sangat yakin, Sri Mulyani dan Boediono termasuk sebagai pelaku aktif. Dia mencontohkan kasus Bank Bali. Yakni Sahril Sabirin dijerat hukum hingga kemudian divonis bersalah dalam kasus tersebut, padahal dia (Sahril) tidak menerima uang sepeser pun. Sama seperti Boediono dan Sri Mulyani, Sahril dijanjikan jabatan, bahwa kalau berhasil keluarkan (mencairkan) dana talangaan untuk Bank Bali, maka akan diangkat kembali jadi gubernur bank central.

Dalam berbagai kesempatan, Sri Mulyani berkali-kali berkelit dan mengatakan bahwa proses bailout sudah sesuai prosedur. Menurut Rizal Ramli, itu jawaban tipikal birokrat, berkilah telah sesuai prosedur. “Pertanyaan saya, prosedur yang mana, wong jelas-jelas DPR hanya menyetujui Rp 1,3 triliun, tidak ada UU atau kesepakatan dengan DPR untuk mengajukan lebih lanjut. Dan mereka lakukan ini (bail-out) secara sembunyi-sembunyi, baru ketahuan oleh publik setelah beberapa bulan kemudian. Padahal, kalau betul sesuai prosedur, ngapain disembunyikan?,” lontar Rizal Ramli.

Sejak kasus Century ini mencuat, tidak sedikit pula demo atau aksi unjuk rasa yang telah digelar oleh berbagai kalangan seperti para ormas anti-korupsi dan juga para mahasiswa aktivis. Mereka semuanya mendesak KPK agar segera menangkap pelakunya. “Boediono dan Sri Mulyani bertanggung-jawab kasus bailout Bank Century, mereka masih bebas berkeliaran di luar sana,” tandas orator yang tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa seluruh Indonesia, saat berdemo di depan Gedung KPK, Senin (30/9/2013). Sepert dikutip skalanews.com.

Hal menarik yang harus jadi acuan bagi KPK sekaligus sebagai kunci pembuka tabir misteri masalah Bank Century tersebut justru berasal dari Jusuf Kalla (JK). Yakni JK mengaku sejak awal tidak pernah diberi laporan tentang kondisi seputar Bank Century.

JK menuturkan, kebijakan bailout Bank Century tidak wajar. Apalagi jika bailout dilakukan dengan dasar penetapan Bank Century sebagai bank gagal dan berdampak sistemik hingga diberikan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Indikasinya adalah Bank Century pada 2008 hanya memerlukan suntikan dana sekitar Rp 630 miliar namun, diberikan BI Rp 2,5 triliun lalu menggelembung menjadi Rp 6,7 triliun.

Selain itu, berdasarkan laporan yang dia (JK) terima dari Menkeu Sri Mulyani, rapat antara Menkeu dan Gubernur BI Boediono tidak menyimpulkan kalau Bank Century merupakan bank gagal berdampak sistemik yang dapat mengancam perekonomian Indonesia. Tetapi, tiba-tiba muncul kebijakan dari BI kepada Bank Century.

“Ibu Sri Mulyani, Pak Boediono sebagai gubernur dan menteri keuangan semua sepakat dan menjelaskan bahwa tidak ada krisis ekonomi kita Tapi, beberapa jam kemudian mereka rapat di Kementerian Keuangan dan subuh memutuskan adanya gagal sistemik satu bank yang membahayakan. Padahal sebenarnya itu tidak perlu,” katanya. Seperti dikutip suarapembaharuan.com.

Jusuf Kalla yang lebih dulu diperiksa sebagai saksi juga telah menyatakan hal tersebut kepada KPK. “Menteri Keuangan Sri Mulyani, Gubernur BI Boediono, dan beberapa menteri lain tidak menyebut ada krisis ekonomi. Semua sepakat dan menjelaskan tidak ada krisis. Aman,” kata JK.

Namun, kata JK, hanya berselang beberapa jam kemudian, Menkeu, Gubernur BI, dan sejumlah menteri menggelar rapat di Kantor Kemenkeu hingga subuh. Dalam rapat itu diputuskan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik yang harus diselamatkan agar tidak berimbas ke krisis ekonomi nasional.

Anehnya, pada pemeriksaan Boediono yang kedua kalinya, Sabtu (23 November 2013), Boediono malah menyatakan bahwa bailout Century adalah tindakan mulia untuk atasi krisis. Dan itu telah dilakukannya dengan tulus.

Boediono dalam konferensi persnya di kantor Wakil Presiden, Jakarta, menyatakan yakin bailout Century adalah hal yang benar. “Saya telah melakukan tanggung jawab saya waktu itu sebagai Gubernur BI. Saya laksanakan itu dengan segala ketulusan hati untuk menyumbangkan yang terbaik bagi bangsa,” kata dia. Seperti dikutip viva.co.id.

Artinya, Boediono sesungguhnya telah mengaku melakukan bailout kepada Bank Century, meski alasannya adalah karena ketika itu sedang terjadi krisis ekonomi.

Pernyataan Boediono ini tentu saja sangat bertolak-belakang dengan pernyataan JK. Tetapi bagaimana pun upaya Boediono untuk menyembunyikan sesuatu terhadap masalah ini, mata publik tetap mampu melihat adanya indikasi yang sangat jelas bahwa memang telah terjadi ketidakberesan atau kongkalikong antara Boediono, Sri Mulyani. Dan boleh jadi memang kongkalikong itu adalah untuk menyelamatkan sesuatu, dalam hal ini bukan untuk menyelamatkan Bank Century, tetapi boleh jadi lebih dominan adalah untuk menyelamatkan SBY agar dapat mengulang kesuksesannya sebagai penguasa untuk periode kedua.

Jika indikasi dan dugaan di atas benar sebagai upaya menyelamatkn SBY sebagai presiden periode kedua, maka ungkapan Rizal Ramli tidaklah meleset, bahwa jabatan Wapres yang dijabat oleh Boediono saat ini adalah merupakan bentuk gratifikasi karena telah berhasil melakukan sebuah “penyelamatan”.

Dan jika itu benar, maka Boediono seusai diperiksa kemarin harusnya sudah bisa menjadi “Kado” buat rakyat pada ultah ke-5 lahirnya kasus Bank Century 21 November 2008, yakni sebagai tersangka. Mampukah KPK..??? Kita tunggu hasilnya dalam waktu dekat ini…!!! Jika KPK tidak berani, maka lebih baik KPK yang jadi Kado Century, yakni bubarkan saja..!?! Rakyat capek nunggunya..!!!>map/ams

Rabu, 20 November 2013

SBY Koruptor (Patut Diduga). Apa Bedanya dengan Soeharto??

13849521341793826522

[RR1online]:
DI mana-mana, korupsi (nyolong dan merampok uang rakyat) memang adalah perbuatan yang sangat terkutuk dan tercela, karena sudah pasti hasil korupsi itu adalah bernilai HARAM.

Pemimpin atau pejabat yang gemar melakukan korupsi tidak hanya membuat negara jadi rusak, tetapi juga para pegiat korupsi itu sendiri. Katakanlah bisa terhindar dari jeratan hukum di dunia, tetapi yakinlah kalian tidak akan mungkin bisa lepas dari cengkeraman hukum di depan Sang Maha Pencipta lagi Maha Kuasa.

Sehingga itu, janganlah coba-coba ingin jadi pemimpin negara atau pejabat jika hanya tergiur melakukan korupsi. Jika itu yang terjadi, maka jabatan yang diemban sebagai pemimpin itu sesungguhnya bukanlah sebuah anugerah, tetapi malah akan menjadi musibah buat banyak orang dan juga menjadi malapetaka bagi diri sendiri.

Dan boleh jadi, kekacauan sebagai musibah atau pun malapetaka yang timbul secara bertubi-tubi yang mewarnai kehidupan di negeri ini saat ini, itu adalah akibat karena pemimpin di negeri kita adalah koruptor dan seorang pembohong besar.

Lihat saja, era Reformasi yang dibanggakan hingga detik ini ternyata hanya melahirkan koruptor-koruptor yang malah lebih kejam daripada koruptor di era Orde Baru (Orba). Gaya korupsi di zaman pemerintahan Soeharto masih lebih bisa disebut “beradab dan bermartabat” dibanding modus korupsi pemerintahan SBY yang amat licik karena dilakukan dengan cara “terima setoran” (baca sumber). Artinya, Indonesia memang berhasil keluar dari mulut anjing, tetapi masuk ke mulut Serigala Buas Yaaa...??

Jika demikian, era Reformasi saat ini harus segera ditumbangkan. Jika tidak, maka negara kitalah yang akan tumbang dan habis dilahap oleh para koruptor...!!!!! Ini fakta, bukankah negara kita saat ini sudah dikuasai dan bahkan diinjak-injak seenaknya oleh negara asing. Siapa yang membuat dan memberi kesempatan semua itu terjadi...???

Sungguh, setelah selama Reformasi bergulir, Bangsa ini ternyata belum bisa melepaskan diri dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Bahkan penyakit ini, malah semakin parah dan menjadi-jadi. Para pegiatnya adalah termasuk presiden (patut diduga) bersama gerombolannya, yakni menteri-menteri, anggota-anggota DPR; pejabat-pejabat tinggi, misalnya hakim mahkamah konstitusi, pengadilan, jaksa-jaksa, polisi-polisi, dan bahkan para sanak keluarga serta kroni penguasa dinasti. Demikian yang diungkapkan oleh mantan aktivis ITB, Ir.Abdulrachim Kresno, seperti dilansir voaislam.

Lalu apa bedanya dengan pemerintahan Soeharto? Mari kita simak penjelasan dari Rizal Ramli sebagai sosok mantan aktivis yang pernah dipenjara semasa mahasiswa karena menentang pemerintahan korup Soeharto di masa Orba.

Sebagaimana dilansir sorotnews, Rizal Ramli yang pernah menjabat sebagai Menko Perekonomian di era Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyebutkan, berbeda model atau pola kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh Presiden Soeharto dengan yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Menurutnya, kalau Soeharto masih ada nilai positifnya, yakni nilai tambah dengan membuka lapangan kerja, pemberdayaan pembangunan pertanian (masih ingat “Kelompencapir”?). Tapi sebaliknya, SBY sama sekali tanpa nilai tambah.

“Ada perbedaan fundamental pola KKN yang dilakukan oleh Soeharto dan SBY. Kalau Soeharto dengan memberi berbagai fasilitas, proteksi, tarif, kredit, dan membangun berbagai jenis industri sekaligus memilki nilai tambah dengan membuka lapangan kerja,” ungkap Rizal Ramli pada wartawan di Jakarta, Selasa (19/11/2013).

Kroni Soeharto di masa lampau bisa membangun berbagai jenis industri seperti otomotif, mie instan, tepung, perkebunan, pertambangan dan lainnya, meski tidak sehebat Jepang. Tapi, Indonesia yang menjadi pasar otomotif terbesar dunia ini sampai hari ini belum ada kemauan untuk membangun industri yang mandiri.

Sementara itu, lanjut Rizal, yang dilakukan oleh SBY saat ini adalah dengan menggunakan pola percaloan. “Tak ada nilai tambah perekonomian untuk rakyat dan negara. Karena itu muncul nama-nama seperti Sengman, Bunda Puteri, dan lain-lain yang tidak jelas, dan mereka itu menikmati uang negara,” ujar Rizal.

Menurut Ketua Umum Kadin ini, ada tiga cara mudah untuk mendapatkan uang politik yang besar penguasa negara ini. Yaitu (pertama), dari impor pangan. Kedua, pengelolaan minyak dan gas (perdagangan, trading, lisensi-perizinan, distribusi dan lain-lain. Dan ketiga, melalui perampokan bank. Seperti terjadinya skandal Bank Century, Bank Bali dan semacamnya.

Sehingga itu, tak salah jika Rizal Ramli yang juga selaku Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARuP) ini menuding pemerintahan SBY yang sedang berjalan ini tidak beres karena menerapkan pola KKN tanpa nilai tambah. “Semoga 2014 menghasilkan pemimpin yang jauh lebih baik, mampu membangkitkan perekonomian negara, dan membangun industri yang mandiri,” pungkas ekonom senior ini.

Berikut ini adalah kesimpulan perbandingan perbedaan KKN yang terjadi di Pemerintahan Soeharto dengan yang berlangsung dalam pemerintahan SBY (referensi dari voaislam) :

I. KKN Soeharto
Meskipun KKN itu haram dan merusak, namun KKN Presiden Soeharto masih bisa melahirkan banyak industri yang sampai sekarang pun berkembang dengan baik. Misalnya industri mobil, motor, semen, material bangunan, properti, sampai pabrik mie instan. Semuanya itu tentu menimbulkan pertumbuhan ekonomi serta lapangan kerja yang tinggi, memberikan kesejahteraan untuk rakyat serta lebih merata dan sebagainya.

Juga, meski melakukan KKN, namun pemerintahan Soeharto masih mampu menggairahkan pembangunan pertanian dan perikanan (kelautan), salah satunya dengan aktifnya digelar Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa) dari desa ke desa.

Tentang keamanan, Soeharto bahkan sangat menjamin rasa aman bagi warga negara. Aparat negara dan hukum (TNI, polisi, hakim, hingga jaksa) sangat takut dan tidak leluasa melakukan korupsi.Coba kalau berani..?!?! Kalaupun ada yang berani, maka itu dipastikan adalah orang gila.

Di masa Orba (melalui TVRI atau di RRI) sangat jarang sekali terdengar Soeharto mengeluh lalu curhat kepada rakyat, apalagi berbohong. Bahkan di detik-detik keruntuhannya pun, Soeharto masih terlihat tegar meletakkan jabatannya. Sayangnya, apapun alasannya, KKN tetap tidak dibenarkan dilakukan oleh pejabat di negeri ini, apalagi sebagai presiden.

II. KKN SBY
Kalau dibandingkan dengan KKN Presiden SBY (patut diduga) yang telah banyak disebut dalam kesaksian Ridwan Hakim (putra Hilmi Aminuddin Ketua Dewan Syuro PKS) yang dalam kesaksiannya dibawah sumpah al-Quran di depan persidangan Ahmad Fathonah, yang dengan jelas menyebut nama Bunda Putri maupun Sengman.

Kesaksian Ridwan Hakim beredar di banyak media termasuk media online. Dan dengan terungkapnya hal-hal tersebut, maka pola KKN-nya SBY boleh jadi adalah dengan menerima setoran saja. Dalam hal ini SBY hanya tahu beres saja, pundi-pundinya pun akan diisi oleh para “gerombolannya”.

Parahnya, KKN saat ini tidak diikuti dengan nilai tambah berupa pembangun industri, menumbuhkan ekonomi, memberikan lapangan pekerjaan. Malah sebaliknya, yakni ekonomi bangsa dan negara makin dibuat sangat susah, yakni dengan menaikkan harga BBM, membuat harga-harga kebutuhan hidup rakyat makin mencekik, keberadaan usaha tahu dan tempe pun makin terjepit akibat kedelai yang sangat mahal dan langka, termasuk harga daging menjadi sangat mahal 95-120 ribu rupiah/kg (dua kali harga daging di Malaysia dan negara-negara lain, dan hingga kini tak mampu diturunkan meski sudah impor sapi dari Australia), serta seterusnya dan lain sebagainya.

Tentang pengakuan dan kesaksian Ridwan Hakim disusul oleh LHI itu sangat berbeda dengan bantahan SBY yang dilakukan secara murka dengan melontarkan bahwa "semua itu adalah 1000 persen-2000 persen bohong" dalam konferensi Pers di Halim Perdana Kusuma. Yakni, tidak di bawah sumpah al-Quran, tidak ada deliknya di KUHP.

Dari situ, publik malah balik "menuding", bahwa SBY-lah yang patut diduga berbohong. Betapa SBY berkali-kali bohong dengan keterangannya sendiri, misalnya pernah menyatakan tidak kenal dengan Ayin, ternyata kemudian beredar foto di online, SBY mendatangi pesta perkawinan anak Ayin. SBY melalui Juru bicaranya Julian Pasha juga mengaku tidak kenal dengan Sengman, namun tak seberapa lama mengaku juga.

Lagi pula bantahan SBY di Halim Perdanakusuma bahwa tidak kenal itu kan hanya ke bunda putri (Non Saputri/B1),tapi tidak pernah membantah bahwa tidak kenal dengan Sylvia S (bu Pur) yang belakangan dikenal sebagai bunda putri 2, yang hubungannya amat dekat dengan Cikeas, terlibat dengan proyek Hambalang dan pernah diperiksa KPK, dan konon sekarang malah raib entah lari ke mana.

1. Para Menteri pembantu SBY dan MK Melegalkan Perampokan BUMN
Menteri BUMN Dahlan Iskan dan Menteri Keuangan, Chatib Basri, layak dicurigai telah merestui pelepasan aset BUMN dari negara karena mereka berdua tidak bergeming atas permohonan uji materi UU Keuangan Negara dan BPK ke Mahkamah Konstitusi. Jika aset BUMN lepas dari Negara, maka BPK tidak lagi bisa mengaudit aliran dana mereka, dan hal ini ditenggarai beberapa pihak bisa menjadi “ATM” partai politik pada Pemilu 2014.

“Jangan-jangan menteri BUMN dan menteri keuangan itu merestui permohonan uji materi ke MK, sebab tidak ada upaya tegas melawan gugatan yang berpotensi privatisasi BUMN itu,” kata peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, di Jakarta, Minggu (17/11/2013).

Dugaan tersebut menguat saat salah satu pemohon gugatan uji materi itu dari Forum BUMN dan Biro Hukum Kementerian BUMN. Padahal, menurut Fariz, jika aset BUMN terpisah dari aset negara, maka timbul sejumlah risiko yang mengkuatirkan bagi negara.

“Kalau (permohonan) itu dikabulkan, kami kuatir akan menjadi ‘angin surga’ bagi praktik pembajakan dan perampokan BUMN. Kalau MK mengabulkan, maka MK melegalkan perampokan BUMN seperti layaknya politisi,” kata dia.

2. Politisi dan Polisi Masih Setor ke Atasannya
Ketua KPK Abraham Samad mengungkapkan, bahwa masih ada aparat polisi di Indonesia yang ingin bekerja dengan jujur. Namun ia mengaku hal itu sulit dilakukan karena menurut pengakuan para polisi tersebut, lingkungan kerja di kepolisian membuat mereka sulit untuk hidup jujur.

“Jawaban mayor sampai kolonel yang saya temui, mereka bilang nurani mau jadi polisi baik, tapi susah kalau ditarget oleh atasan untuk setor setiap bulan. Saya tidak setuju kalau dibilang cuma 3 polisi yang jujur, polisi Hoegeng, patung polisi dan polisi tidur. Masih banyak polisi baik, ironisnya mereka hanya ditempatkan di diklat,” kata Abraham.

Abraham meminta agar Sutarman menempatkan para polisi yang berhati nurani jujur di tempat yang memiliki fungsi penindakan agar masyarakat terus memberikan kritik dan mengevaluasi kinerja kepolisian agar kepolisian bisa berubah.

Begitu pun dengan sepak-terjang sebagian besar politisi yang duduk sebagai anggota legislatif, yang umumnya sudah terang-terangan melakukan "perburuan" proyek ke sejumlah kementerian. Di daerah-daerah pun demikian, tidak sedikit anggota DPRD yang tidak punya malu dengan leluasanya memburu proyek-proyek ke sejumlah SKPD. Proyek-proyek tersebut bisa dikerjakannya sendiri melalui perusahaan milik keluarga atau kelompoknya, dan juga tak jarang menjadi perantara proyek untuk diberikan kepada pihak lain karena harapan mendapatkan fee, namun tetap sejumlah nilai lainnya akan disetor ke "atasan".

Terlepas dari semua uraian tersebut di atas, tentunya yang menjadi pandangan dan prinsip rakyat sejak dulu hingga kini adalah sangat tidak terpujinya jika seorang kepala negara tega melakukan korupsi (mencuri dan merampok, lalu melahap uang rakyat).

Karena apapun alasannya, KKN yang dilakukan oleh pejabat tinggi negara (apalagi presiden) hanya menjadi malapetaka dan musibah terbesar buat negeri ini. Akibatnya, negara hancur karena dipenuhi oleh koruptor bermoral "tikus" dan rakyat yang bermentalkan "kucing". Namun semoga "kucing" bisa kembali kepada watak aslinya, yakni dengan segera menerkam dan memangsa "tikus-tikus" pelahap uang rakyat tersebut.>map/ams

-------
Merdeka... dan Salam Perubahan...!!!

Sandiwara Sadap dari Istana Presiden

[RR1online]:
AKHIR-akhir ini begitu gencar diberitakan tentang isu penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap sejumlah pejabat tinggi di negara ini. Terlepas benar atau tidaknya penyadapan tersebut, yang jelas telah berhasil mengundang perhatian banyak pihak, hingga berbagai pandangan pun bermunculan.

Salah satunya adalah pandangan seorang tokoh wanita "pejuang" kedaulatan rakyat Indonesia, Ratna Sarumpaet, menilai hal tersebut sebagai "Sandiwara Sadap dari Istana Presiden", yang dituangkannya dalam Fanpage-FB miliknya. Berikut secara lengkap kutipan "Press Release" Ratna Sarumpaet:
--------------
SUDAH seminggu Menteri Luar Negeri Indonesia, saudara Marty Natalegawa sibuk dan sangat murka karena Presiden, Isteri Presiden, Wakil Presiden dan para anggota Kabinet konon disadap oleh Amerika - Australia. Presiden pun marah besar konon, karena Isteri beliau termasuk yang ikut disadap.
Apa maksud semua kemarahan itu? Supaya seolah-olah para penyelenggara Negara telah bekerja? Supaya seolah-olah mereka telah maksimal menjaga negeri ini? Atau ini hanya kemarahan sandiwara, sekadar menunjukkan (seperti biasa) bahwa mereka sedang teraniaya oleh ulah Australia?

Sebab kalau penyadapan adalah melanggar Konvensi Internasional, kenapa pemerintah melalui saudara Marty atau Melu RI hanya meminta penjelasan? Kenapa tidak punya keberanian dengan tegas memutuskan hubungan ekonomi politik dengan Australia, misalnya?

Sebenarnya, suka atau tidak, negeri ini sudah terjajah dan yang membuat negeri ini terjajah adalah pengkhianatan, ketamakan dan kebodohan para penyelenggara Negara. Jadi adalah aneh apabila SBY menganggap diri masih berhak marah atas adanya penyadapan Australia karena dia sendiri sebagai kepala Negara nyaris tidak pernah membuat langkah yang menunjukkan ia dengan sungguh-sungguh menjaga “rahasia” Negara Bangsa dari sentuhan Negara-negara Asing.

“Rahasia Negara” tidak semata dokumen inteligen. Kekayaan bangsa ini secara ekonomi, social budaya juga “rahasia Negara” yang harusnya dijaga dan dikelola semata-mata demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan bangsa dan itu betul yang secara sadar telah digadaikan. Betul proses menggadaikan kekayaan bangsa ini pada Kapitalis Global sudah berlangsung sejak rezim-rezim sebelumnya, namun penggadaian itu memuncak dan jadi brutal pada rezim Yudhoyono – Boediono dan itu kunci Indonesia tidak lagi mandiri.

Sejak rezim Yudhoyono - Boediono menerbitkan Undang-undang Investasi, rezim ini telah secara sadar membiarkan Modal Asing masuk hingga ke sendi-sendi ekonomi politik bangsa Indonesia dan membiarkan kontrol ekonomi berada di tangan asing. Sejak itu, Indonesia sudah tidak punya kemandirian dan kedaulatan secara ekonomi dan politik. Itu fakta kita.

Jadi, adalah memalukan apabila Pemerintah terus ribut mempersoalkan sadap Negara asing, sementara Pemerintah sendirilah yang membiarkan bangsa ini terjajah oleh kapitalis asing. Suka atau tidak, modal asing telah menguasai Migas kita hingga 70%, Minerba hingga 89%, Sawit 75%, Kelautan 65%, sementara regulasi kita memungkinkan BANK boleh dikuasai asing hingga 90% dan Farmasi/Medis terbuka untuk dikuasai asing, dst.

Jadi Istana, Kabinet dan DPR sebaiknya berhenti meributkan sadap dan bercerminlah. “Kalau tidak ingin kecolongan, kunci Rumah!” Itu seminim-minimnya kesadaran yang masih bisa dilakukan, kecuali ada keberanian mengubah Undang-Undang Investasi Asing, kembali pada amanat para pendiri bangsa ini.>map/ams
------------
Sumber:
Fanpage (FB) Ratna Sarumpaet / 2A9DE50E. Ketua Presidium Pusat Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI)