Rabu, 28 Mei 2014

Demokrat Ancam Monopoli Media

RR1news: Selaku juru bicara Partai Demokrat, Ruhut Sitompul menyayangkan adanya monopoli media oleh segelintir pengusaha yang mengakibatkan terjadinya penggiringan isu yang sangat merugikan partai besutan Presiden SBY tersebut.

“Kami korban monopoli yang dilakukan penguasa media massa. Kami sadar akan hal ini, dan kami tidak cepat menindak para penguasa yang melanggar UU Penyiaran,” ujar Ruhut, Selasa (27/5/2014).

Selasa, 13 Mei 2014

Rizal Ramli: Skandal Century, Kebijakan Kriminal dan Penyalahgunaan Kekuasaan

[RR1online]:
TERKAIT dengan proses Kasus Bank Century, Sri Mulyani yang sudah diperiksa sebagai saksi pada sidang Tipikor pada Jumat (2 Mei 2014), dan Boediono yang juga sudah memberikan kesaksiannya pada sidang yang sama namun di hari berbeda, yakni pada Jumat (9 Mei 2014), adalah dipandang hanya memberikan kesaksian dan keterangan yang berputar-putar.

“Maaf, Boediono itu masih muter-muter. Padahal masalahnya jauh sangat sederhana,” ujar Rizal Ramli saat dimintai tanggapannya secara live oleh salah satu stasiun televisi nasional, sesaat Boediono usai memberi keterangannya dalam sidang Tipikor, di Jakarta, Jumat (9 Mei 2014).

Menurut mantan Menko Perekonomian dan juga mantan Menteri keuangan ini, Bank ini (Century) tidak pantas untuk di-bailout, karena pertama, Bank (Century) ini sudah dari dulu bermasalah, sudah lama busuk dan sudah lama rusak. Sehingga tidak ada hubungan dengan krisis. “Bahkan kalau ditutup saja tidak ada efeknya samasekali. Tinggal ditutup saja. Ribet amat!,” lontar Rizal Ramli.

Yang kedua, lanjutnya, Bank (Century) ini relatif kecil, yang kalau pun ditutup dampaknya itu nyaris tidak ada apa-apanya. “Argumen sistemik itu argumen yang sama sekali sangat menyesatkan,” ujar Rizal Ramli seraya menyebutkan bahwa dirinya  dulu selaku Menko pernah menyelamatkan BII yang 6-7 kali lebih besar dari Bank Century. Dan itu dilakukan Rizal Ramli tanpa mengeluarkan uang negara (bailout) sepeser pun.
Boediono Mafia Bailout?

SELAIN sebagai Ekonom Senior, Rizal Ramli juga dikenal sebagai sosok yang paling giat mendesak penuntasan kasus korupsi, terutama pada skandal Bank Century ini.

Dalam wawancaranya dengan stasiun televisi tersebut, Rizal Ramli memandang Skandal Century tersebut sebagai kebijakan kriminal dan penyalagunaan kekuasaan.

Ia pun menceritakan kisahnya sekaitan dengan Boediono yang sebelumnya sudah sangat “gigih” mencari bank “ember kosong” yang diduga ingin diisi (dibailout) lalu isinya disedot (“dirampok”).

Sekitar dua tahun lalu, Rizal Ramli mengaku pernah menjenguk Antasari yang mendekam di LP Tangerang sebagai terduga kasus pembunuhan.

Di sana, kata Rizal Ramli, Antasari menceritakan bahwa dulu ketika dirinya sebagai Ketua KPK pernah didatangi oleh Gubernur Bank Indonesia (BI), Boediono.

Ketika itu, cerita Antasari kepada Rizal Ramli, Boediono datang bermaksud meminta izin untuk mem-bailout Bank Indover di Negeri Belanda sebesar Rp.5 Triliun.

Disebutkannya, Boediono saat itu tidak hanya mendesak, tetapi juga menakut-nakuti Antasari, bahwa jika tidak dilakukan bailout maka kepercayaan terhadap Indonesia rusak, rupiah bisa anjlok, investor jadi tidak percaya.

Boediono yang “bernafsu” tinggi untuk dapat membailout Bank Indover itu nampaknya lupa kalau Antasari adalah mantan Asisten Jaksa Agung Marzuki Darusman dan Rizal Ramli sebagai Menko Ekuin di era Presiden Abdurrahman Wahid, yang tahu persis dengan masalah Bank Indover tersebut.

Sebab waktu itu, Rizal Ramli pernah meminta Jaksa Agung dengan mengutus Antasari untuk menyelidiki secara khusus kondisi Bank Indover di Amsterdam, Belanda.

Dari penyelidikan itu, pihak Bank Central Belanda menyatakan agar Indonesia tidak perlu kuatir kalau terjadi sesuatu. Sebab Bank Indover sudah dijamin oleh pihak Bank Central Belanda.

Karena sangat paham dengan kondisi masalah Bank Indover itulah, Antasari ketika ditakut-takuti oleh Boediono balik mengancam dan menegaskan untuk jangan sekali-kali melakukan bailout terhadap Bank Indover. “Apabila Anda (Boediono) nekat melakukan bailout Bank Indover 5 Triliun, maka sorenya saya tangkap Anda” ujar Rizal Ramli mencontohkan penegasan Antasari terhadap Boediono ketika itu.

Memang, kata Rizal Ramli, Boediono saat itu jadi ketakutan. Tapi kemudian, ia (Boediono) malah cari “ember kosong” lain, yaitu Bank Century. Dan Bank Century inilah yang dimainkan Boediono, di mana sebetulnya kebutuhan dana Bank Century ini hanya sebesar dana pihak ketiga, yaitu hanya sekitar Rp. 2 Triliunan. “Tapi kok bisa dibailout sampai 6,7 Triliun?” ujar Rizal Ramli geleng-geleng kepala seraya menambahkan, dari situ sudah sangat jelas bahwa ini memang upaya membobol bank.

Lebih jauh, Rizal Ramli menyebutkan, pada waktu ketua KPK Antasari meminta BPK untuk melakukan audit, ketuanya itu Hadi Purnomo, wakilnya Taufiequrahman Ruki, teman dekat SBY. Salah satu permintaan Ruki adalah supaya jangan menyentuh “NKRI”.

Hadi Purnomo yang mungkin juga banyak masalah, kata Rizal, sepakat untuk akhirnya hanya melakukan policy audit (audit kebijakan). “Nah, kalau sudah diaudit kebijakan, Boediono dan Sri Mulyani pasti kena,” ujar Rizal Ramli.

Yang sengaja tidak dilakukan oleh KPK, kata Rizal lagi, adalah audit aliran dana. Padahal kalau ikut model kasus Bank Bali, diaudit aliran dana, maka dalam waktu 6 minggu akan ketahuan itu uang ke mana (alirannya).

“Kok bisa butuh cuma 2 triliunan dana pihak ketiga, tapi disuntik sampai 6,7 T, dan ini berlangsung selama 8 bulan sampai 2009,” turur Rizal Ramli bertanya-tanya.

Menurut dia, di mana-mana di seluruh dunia menyelamatkan bank itu cuma 1-2 hari, ditransfer dana bailout untuk pihak ketiga. Tidak ada di seluruh dunia (mana pun) bank itu uangnya ditarik bertahap pelan-pelan sampai 8 bulan. “Nah kalau diaudit, saya mohon maaf pihak istana kalau diaudit yang betul, akan jelas uang itu buat dana politik. Ini yang tidak dilakukan,” tegas Rizal Ramli.

Rizal Ramli yang kini sebagai salah satu anggota dewan penasehat ekonomi di badan dunia (PBB) mengaku heran serta kaget dengan keterangan dan kesaksian Sri Mulyani.

“Saya kaget ketika Sri Mulyani mengatakan data BI (Bank Indonesia) tidak benar, tidak beres, diragukan. Tapi kok setuju (sebagai Menteri Keuangan) dengan bailout berikutnya? Kalau tahu betul bahwa data BI tidak benar atau menyesatkan, hentikan dong proses pembayarannya itu!” tandas Rizal Ramli.

Sehingga dalam kasus Bank Century ini Rizal Ramli pun berpendapat, bahwa ada hal-hal di mana semua pihak (yang terkait) lempar tanggung jawab karena tidak mau mengambil tanggung jawab (resiko) dari skandal Bank Century ini.


--------------
Sumber: KOMPASIANA

Selasa, 28 Januari 2014

Rakyat juga Bisa Somasi Presiden yang Dinilai Lalai dalam Tugas atau Ingkar dari Janji

[RR1online]:
DALAM doktrin dan yurisprudensi, istilah somasi juga digunakan untuk menyebut suatu perintah atau peringatan (surat teguran). Sehingga somasi dalam prakteknya dapat dipakai sebagai proses awal ke perkara perdata maupun pidana.

Namun pada hakikatnya, somasi sesungguhnya lebih tepat digunakan ketika terjadi sebuah “kelalaian” yang dinilai dilakukan oleh seseorang terhadap pihak lainnya (lihat pasal 1238 KUHPerdata). Misalnya, antara kreditur dan debitur yang di dalamnya telah menjalin sebuah “perjanjian”.

Menghubungkan somasi yang telah dilakukan SBY melalui pengacarnya kepada 3 warga negara (rakyatnya), kemudian jika menggarisbawahi istilah “kelalaian” yang tersirat dalam pasal 1238 KUHPerdata tersebut, maka sepertinya yang lebih tepat melakukan somasi itu adalah rakyat terhadap kepala negara (maupun kepala daerah) yang dinilai lalai dalam tugas, atau karena dianggap telah ingkar dari janji-janji yang telah diucapkannya sendiri. Bukan malah sebaliknya…!?!

Masih ingat dengan janji-janji kampanye SBY-Boediono pada Pilpres 2009 silam? Ini dia janji-janjinya :

1. Pertumbuhan ekonomi minimal 7 persen sehingga kesejahteraan rakyat meningkat.

2. Kemiskinan harus turun 8-10 persen dengan meningkatkan pembangunan pertanian, pedesaan dan program pro rakyat.

3. Pengangguran turun 5-6 persen dengan cara meningkatkan peluang lapangan pekerjaan dan peningkatan penyaluran modal usaha.

4. Pendidikan harus ditingkatkan lagi. Mutu infrastruktur dan kesejahteraan guru dan dosen ditingkatkan. Persamaan perlakuan sekolah negeri-swasta-agama. Tetap melanjutkan sekolah gratis bagi yang tidak mampu.

5. Masalah kesehatan dengan terus melakukan pemberantasan penyakit menular dan melanjutkan pengobatan gratis bagi yang tidak mampu.

6. Swasembada Beras dipertahankan. Ke depannya Indonesia akan menuju swasembada daging sapi dan kedelai.

7. Penambahan Energi daya listrik secara nasional. Kecukupan BBM dan pengembangan energi terbarukan.

8. Pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia. Mulai dari perhubungan, pekerjaan umum, air bersih, TI, maupun pertanian.

9. Peningkatan pembangunan rumah rakyat seperti proyek rusun murah untuk buruh, TNI/ Polri, dan rakyat kecil.

10. Pemeliharaan lingkungan terus ditingkatkan seperti dengan reboisasi lahan.

11. Kemampuan pertahanan dan keamanan terus ditingkatkan seperti pengadaan dan modernisasi alustsista TNI/ Polri.

12. Reformasi birokrasi, PEMBERANTASAN KORUPSI terus ditingkatkan.

13. Otonomi daerah dan pemerataan daerah ditingkatkan.

14. Demokrasi dan penghormatan terhadap HAM makin ditingkatkan. Jangan terjadi lagi pelanggaran HAM berat di negeri ini.

15. Peran Indonesia makin ditingkatkan di dunia internasional. Berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dunia.

Nah, saya tak perlu mengurai satu-satu dari setiap janji-janji tersebut di atas, apakah sudah tercapai atau tidak??? Silakan direfleksikan sendiri sesuai dengan kondisi saat ini secara objektif! Misalnya, tentang kondisi ekonomi kita yang saat ini masih terpuruk, nilai rupiah anjlok, defisit keuangan negara yang terus membengkak, utang luar negeri yang terus mendaki, ketergantungan kepada barang kebutuhan impor, harga-harga pemenuhan dan kebutuhan biaya hidup yang makin mahal, serta lain sebagainya. Dan itu baru di bidang ekonomi, belum di bidang-bidang lainnya.

Janji-janji tersebut di atas juga sebetulnya secara “terakumulasi” dan secara tidak langsung telah ikut terucap pada saat pengambilan serta pengucapan sumpah dan janji SBY saat dilantik sebagai presiden. Dan UUD 1945 pasal 9 ayat 1 adalah dapat ditunjuk sebagai “perikatan”-nya ( yakni perikatan seperti yang disebutkan dalam pasal 1238 KUHPerdata).

Dalam konteks ini, tanpa lari dari pokok pikiran artikel ini, saya coba menggunakan pendekatan peribaratan “debitur dan kreditur” seperti yang disebutkan dalam 1238 KUHPerdata dalam memaknai sebuah somasi.

Bahwa dalam hal ini, yang bertindak ibarat “debiturnya” adalah SBY-Boediono yang telah diberi amanah sebagai presiden dan wakil presiden oleh rakyat (artinya, rakyat di sini adalah krediturnya).

Selanjutnya, dalam pasal 1243 KUHPerdata diatur adanya tuntutan atas “wanprestasi suatu perjanjian” hanya dapat dilakukan apabila “Si Debitur” telah diberi peringatan bahwa ia melalaikan kewajibannya, namun kemudian ia tetap melalaikannya. Dan peringatan secara tertulis itulah yang kemudian kita kenal sebagai somasi. Jadi dalam pengibaratan ini, somasi berfungsi sebagai peringatan dari kreditur kepada debitur untuk melaksanakan prestasi (kewajibannya).

Wanprestasi dapat berupa: (1) tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan; (2) melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya; (3) melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat; atau (4) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian atau meminta ganti kerugian pada pihak yang melakukan wanprestasi. Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian yang timbul sebagai akibat adanya wanprestasi tersebut, serta bunga. Wanprestasi ini merupakan bidang hukum perdata.

Sejauh ini, tidak ada pengaturan dalam hukum acara perdata mengenai siapa yang dapat mengeluarkan somasi. Ini artinya, siapa saja boleh, asalkan memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum dengan mengeluarkan somasi kepada counterpart-nya atas tidak tercapainya “perjanjian” akibat melalaikan kewajibannya.

Demikian beberapa paragraf di atas sebagai penggambaran pengibaratan dengan penempatkan presiden sebagai pihak debitur, dan rakyat adalah krediturnya.

Jika demikian, kemungkinan besar pihak Rizal Ramli (atau mungkin pihak Sri Mulyono dan Fahri Hamzah) akan melakukan somasi balik, yakni dengan “materi somasi (teguran)”, misalnya: bisa seputar janji-janji SBY saat kampanye tersebut, juga bisa mengenai pelanggaran HAM atau bahkan tetap pada seputar kasus dugaan korupsi itu sendiri. (Lihat nomor 12 dan 14 dari janji-janji kampanye SBY di atas)

Dan nampaknya, somasi balik tersebut akan dilakukan oleh Rizal Ramli selaku Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARuP), tentu saja melalui Tim Hukum yang telah dibentuknya, yakni bernama: “Tim Pengawal Demokrasi dan Kebebasan Berpendapat”.

Secara logika memang tak elok jika seorang presiden yang “diangkat” (diberi amanah) oleh rakyat, digaji dan dijamin hidupnya sebagai presiden dari uang rakyat, tetapi kemudian rakyat disomasi atas nama pribadi (bukan dalam jabatannya sebagai presiden).

Lalu apakah SBY sudah memikirkan matang-matang dengan secara rasional tentang apa manfaat dan dampak buruk yang ditimbulkannya sebelum melayangkan somasi? Sebab, sepertinya akan sangat terasa aneh jika SBY nantinya memunculkan sebuah ungkapan (misalnya) sebuah alasan bahwa somasi itu adalah bermanfaat buat rakyat. Padahal diketahui bahwa:

1. Somasi tersebut diakui oleh kalangan istana sebagai atas nama PRIBADI SBY; dan
2. Somasi tersebut dilayang di saat masalah-masalah negara masih terlalu banyak yang belum terselesaikan.

Nah, silakan dibayangkan sendiri-sendiri, bahwa ketika ketiga-tiganya menyatakan siap melakukan somasi balik, maka itu artinya bahwa sisa-sisa waktu SBY sebagai Presiden hanya dihabiskan untuk membela diri dan keluarganya sendiri, bukan untuk rakyat yang jadi tanggungjawabnya.

Semoga bisa menjadi bahan renungan…!!!
----------------
Sumber: KOMPASIANA

“Melawan” Somasi SBY. Ini Alasan Rizal Ramli dan Pengacaranya

[RR1online]:
SAAT ini sudah ada tiga orang warga (rakyat) yang “ditampar” (diberi) somasi oleh SBY melalui Pengacaranya, Palmer Situmorang. Ketiga orang tersebut berturut-turut adalah Sri Mulyono/SM (aktivis ormas PPI pimpinan Anas Urbaningrum, juga sebagai Kompasianer). SM menulis sebuah opini dalam Kompasiana: “…Dari jedah SBY ”memerintahkan” KPK supaya segera menetapkan status Hukum Anas “tersangka”…” dari judul artikelnya: Anas: Kejarlah Daku, Kau Terungkap.

Kemudian tokoh oposisi DR. Rizal Ramli/RR1 (mantan Menko Perekonomian) juga ikut disomasi karena telah mengemukakan pendapatnya, bahwa ada gratifikasi jabatan yang diterima Boediono karena telah berhasil mencairkan dana bail-out terhadap Bank Century. Padahal RR1 mengemukakan pendapat tersebut di salah satu stasiun TV Swasta tanpa menyebut nama SBY, namun tiba-tiba SBY jadi “tersinggung”. Lalu, RR1 pun kena somasi.

Selanjutnya, SBY jadi “geram” ketika mengetahui anak bungsunya disudutkan dalam sebuah artikel di salah satu media nasional berjudul: “Segera Periksa Ibas” yang ditulis oleh Fahri Hamzah/FH (Wasekjen PKS). Akibatnya, FH pun kena somasi.

Padahal, dalam artikel yang diterbitkan pada 15 Januari tersebut, FH hanya mengatakan bahwa “Dalam Kasus Hambalang, sudah jelas banyak terdakwa yang menyebut Ibas menerima uang dari proyek tersebut, namun hingga kini, tidak ada pemanggilan KPK.

Meski begitu, ketiganya mengaku tak gentar menghadapi somasi dari SBY tersebut. Sebab, apa yang dilakukannya itu salah satunya, adalah semata untuk mendukung langkah Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) agar dapat mengambil sikap atas kasus-kasus korupsi yang sedang melanda di negeri ini tanpa pandang bulu!!! Misalnya, masalah Bank Century yang sampai saat ini belum berujung jelas, karena diduga adanya “tekanan” dari lingkaran istana. Lalu salahkah orang mengemukakan pendapat sebagai hasil analisa dari berbagai dugaan-dugaan yang sebenarnya memang telah timbul di tengah-tengah masyarakat?

Ada hal yang sangat tidak diharapkan akan muncul dari masalah (somasi) ini. Yakni, apabila somasi SBY itu berhasil menaklukkan orang-orang yang telah disomasi tersebut, maka selanjutnya hati para koruptor akan menjadi “nyaman, enak-tenang”, karena dipastikan akan melakukan hal yang serupa (somasi) yang bisa dijadikan sebagai bentuk “pembelaan awal”, maupun sebagai upaya untuk mengulur-ulur waktu agar memiliki kesempatan menghilangkan bukti-bukti, atau bahkan untuk lari ke luar negeri. Jadi sungguh kiranya sangat buruk jika somasi yang berlatarbelakang persoalan korupsi harus “dibudayakan” ketika negara dan rakyat saat ini sangat menghendaki pemberantasan korupsi...!!!

Sehingga itu, demi tetap tegaknya upaya pemberantasan korupsi agar tidak kendor dan ambruk menimpa negeri ini, Rizal Ramli pun menyatakan tetap maju menghadapi dan bahkan “melawan” somasi tersebut. Sebab, memang sangat dikuatirkan, apabila Rizal Ramli (beserta orang-orang yang telah disomasi itu) “mundur dan menyerah”, maka ini akan berdampak buruk terhadap semangat pemberantasan korupsi di negeri ini, dan juga terhadap demokrasi serta kebebasan berpendapat.

Ya…semangat rakyat Indonesia baru saja lahir untuk giat memerangi korupsi, jadi jangan sampai semangat itu hilang hanya karena lembaran somasi yang dikibas-kibas dari istana. “Perjuangan kami sederhana. Kami ingin agar Indonesia dapat mempertahankan demokrasi dan kebebasan berpendapat,” ujar Rizal Ramli. Dikutip wartaekonomi.

Menghadapi somasi tersebut, Rizal Ramli ternyata tidak sendiri. Serta-merta sejumlah pengacara menyatakan siap membela, dan berangsur-angsur disusul lainnya hingga mencapai 200-an pengacara secara sukarela tanpa “tarif “ (alias gratis) menyatakan ikut bergabung mendukung langkah dan perlawanan Rizal Ramli terhadap somasi tersebut.

Otto Hasibuan selaku Ketua Tim Hukum sekaligus Pengacara dan Pembela Rizal Ramli atas somasi tersebut menuturkan, sangat disayangkan kalau sampai terjadi somasi dari presiden kepada seorang warga Negara. “Itu berbahaya. Jadi kalau ada orang yang menghalang-halangi berpendapat, ini pelanggaran HAM,” tegas Otto.
------------
Sumber: KOMPASIANA

Senin, 27 Januari 2014

Somasi SBY “Bermuatan Pesan” Agar Tidak Ada Lagi Pihak yang Berani “Menyentuh” Kasus Korupsi???

[RR1online] :
JIKA kita mengerti hakikat dari makna Somasi (yang hanya bisa timbul karena adanya sebuah “kelalaian”— lihat pasal 1238 KUHPerdata), maka orang-orang yang telah disomasi oleh SBY sesungguhnya tak patut diperlakukan layaknya sebagai pihak yang telah melakukan kelalaian.

Meski somasi saat ini diistilahkan sebagai sebuah teguran untuk mendapatkan klarifikasi, namun somasi pada dasarnya merupakan sebuah “ancaman”. Sebab Somasi saat ini lebih didefinisikan sebagai teguran kepada pihak calon tergugat. Padahal pada dasarnya, somasi hanya lebih ditujukan untuk melakukan teguran bagi pihak yang dinilai telah melakukan kelalaian.

Jika DR. Rizal Ramli (RR1) pernah berpendapat, bahwa ada gratifikasi yang diberikan kepada Boediono atas dicairkannya dana bail-out Bank Century. Maka apakah itu bisa disebut sebuah kelalaian??

RR1 mengeluarkan pendapat seperti itu karena memang kasus Bank Century saat itu (hingga kini pun) sedang sangat ramai diperbincangkan oleh publik, dan publik sangat menghendaki titik terang dari kasus tersebut.

Seharusnya SBY tidak melakukan somasi atas pendapat RR1 tersebut. SBY harusnya segera mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar bekerja maksimal untuk membuktikan pendapat yang dikemukakan oleh RR1. Bukan malah sebaliknya, yakni dengan menggelontorkan somasi, yang secara psikologis justru dapat dianggap sebagai salah satu upaya “menghambat” langkah KPK untuk dapat mengusut secara dalam kasus tersebut.

Artinya, dengan melakukan somasi kepada pihak-pihak yang telah mengeluarkan pendapat seputar kasus-kasus korupsi yang sedang menggelinding itu, seakan-akan SBY memunculkan sebuah “pesan” untuk semua pihak (termasuk mungkin kepada KPK) agar jangan lagi sekali-kali berani “menyentuh” kasus-kasus tersebut..!?!? Jika berani, maka akan berhadapan langsung dengan “saya”. Mungkin dan kira-kira begitulah pesan SBY…???

Kembali ke soal somasi. Mereka yang telah disomasi itu sekali lagi adalah lantaran telah mengeluarkan pendapat seputar korupsi. Mengapa mereka mengeluarkan pendapat seperti itu..? Tentulah salah satunya adalah sebagai upaya untuk dapat membantu KPK (memberi keterangan secara rasional) agar bisa bekerja maksimal dan tidak terjebak pada suasana yang diduga melibatkan unsur “kekuasaan” di dalamnya.

Tetapi sayangnya, upaya itulah yang sepertinya saat ini sedang dihambat oleh SBY dengan melakukan somasi. Bisa dibayangkan, sedangkan masih ada saja orang bersuara dan berpendapat seperti itu, KPK masih terkesan “mandul” terhadap dugaan kasus korupsi yang melibatkan penguasa, apalagi jika tidak ada lagi pendapat-pendapat yang disuarakan seputar kasus korupsi tersebut…???

Jika demikian, berarti kita (rakyat) mulai saat ini tak lagi bebas berpendapat terhadap persoalan apa saja, terutama masalah korupsi yang diduga di dalamnya terlibat para petinggi di negeri ini. Parah!!! Padahal kita (rakyat) diminta untuk berpartisipasi dalam membantu pemberantasan korupsi, tetapi kok orang belum beraksi (masih sebatas berpendapat) saja menurut analisa masing-masing seputar korupsi nyatanya disomasi…???

Padahal UUD 1945 pasal 28E ayat 3 menyebutkan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Dan nampaknya pasal ini sebaiknya dihapus saja karena sudah terbukti ada orang-orang yang mengeluarkan pendapat tentang masalah negara (korupsi) langsung disomasi, dan ini baru terjadi di Indonesia sebagai sejarah pertama warga negara (rakyat) disomasi karena mengeluarkan pendapat seputar masalah bangsa dan negara (korupsi).

Apa iya, SBY berupaya menghindari Pasal 7A UUD 1945 (di dalamnya ada disebutkan kata korupsi dan penyuapan)??? : “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”

Entahlah...??? Silakan dijawab di dalam hati dan di dalam pikiran saja...!!! Karena saat ini sepertinya Presiden kita sedang mencanangkan tahun Somasi, makanya judul artikel ini saya beri tiga tanda tanya (???).

SALAM PERUBAHAN 2014...!!!!

---------
*Sumber: KOMPASIANA

Rabu, 08 Januari 2014

Tuan Presiden, Anda Takkan Disebut Hebat Jika Hanya Menang “Perkara” Lawan Rakyat

[RR1online]:
BEBERAPA hari terakhir ini, pikiran saya cenderung tertuju kepada langkah yang ditempuh Presiden SBY yang telah melayangkan somasi kepada salah seorang loyalis Anas Urbaningrum dan juga kepada tokoh oposisi Rizal Ramli (RR1), yakni melalui pengacara yang telah sengaja dibentuk oleh Presiden SBY sebagai upaya “perlawanan balik” kepada rakyat yang melakukan “penyerangan” kepada diri SBY. Sehingga tidak menutup kemungkinan orang-orang lainnya akan menyusul untuk turut disomasi, dan bahkan dimejahijaukan.

Masyarakat dan para aktivis pun menilai, tebar somasi tersebut sebagai bentuk otoriterisme, dan mengarah kepada karakter Orde Baru, bukan reformasi. ‘’SBY tanpa sadar menjadi seorang otoriter, tindakan SBY akan dinilai otoriter,’’ kata mantan anggota Wantimpres, Dr Adnan Buyung Nasution.

Katakanlah memang keduanya salah dan Anda-lah yang benar. Tapi bukan berarti Anda sebagai Presiden langsung melakukan somasi atau mungkin tindakan hukum lainnya. Sebab diakui atau tidak, keduanya adalah juga rakyat Anda, cuma memang kebetulan mereka berada pada posisi berlawanan dengan Anda. Namun, meski Anda berhasil memenangkan perkara versus rakyat, maka Anda takkan pernah disebut Presiden yang hebat.

Artinya, Anda tak perlu cengeng atau cepat tersinggung. Sebab INGAT, Anda adalah seorang Presiden yang bisa menduduki jabatan seperti sekarang ini karena dari rakyat dan untuk rakyat pula. Bukan hanya untuk kelompok atau keluarga Anda sendiri. Bukankah sebelumnya Anda juga sudah menyatakan siap untuk menjadi presiden??? Ya, tentunya dengan berbagai konsekuensi yang akan timbul di dalamnya sebagai seorang pemimpin!!!

Sehingga langkah bijak yang harusnya Anda lakukan sebagai seorang Presiden adalah segera INTROSPEKSI DIRI yang tentu harus diikuti dengan PERBAIKAN DIRI. Bukannya mengeluh, lalu curhat ke mana-mana, kemudian menyomasi “rakyat”.

Jika Anda sebagai seorang Presiden hanya bisa mengeluh, curhat, lalu melayangkan somasi kepada orang-orang, maka izinkan saya “menertawai” sikap Anda tersebut, yang sekaligus mengingatkan saya kembali tentang “tudingan” (alm) Taufik Kiemas yang menyebut Anda sebagai “Jenderal berprilaku anak-anak” jelang Pemilu 2004.

Apakah “tudingan” seperti itu tak cukup membuat Anda memperbaiki diri? Atau apakah “serangan” seperti itu akan Anda jadikan alasan bahwa lantaran dituding macam-macam sehingga membuat Anda tak bisa berbuat banyak sebagai Presiden…??? Tolong jangan salahkan siapa-siapa, sebab itulah sebagian konsekuensi yang harus dihadapi dengan bijak sebagai seorang presiden.

Atau mungkinkah “tudingan-tudingan” sejenisnya justru ingin Anda jadikan sebagai bahan pencitraan untuk mendulang simpatik dari rakyat lainnya agar kembali dapat “menang” dalam Pemilu…??? Mohon dan tolong berhentilah mempertontongkan cara-cara seperti ini jika ujung-ujungnya hanya ingin kembali meraih simpatik rakyat..!!!

Jika ingin rakyat menjadi simpatik kepada Anda, tentulah ada langkah tepat yang harus ditempuh sebagai seorang Presiden, sekaligus sebagai bentuk “pembelaan” layaknya dari seorang pemimpin. Bukan seperti “anak-anak” ketika habis dibentak oleh orang lain langsung curhat dan mengaduh kepada orangtuanya agar bisa “menghajar” orang yang telah membentaknya. Dan jika seperti ini yang dilakukan, maka urusan negara pasti jadi terbengkalai.

Cara tepat dan bijak sekaligus langkah “Pembelaan” SEBAGAI SEORANG PEMIMPIN yang saya maksud di atas, adalah tentunya dengan cara menyelesaikan seluruh masalah-masalah yang menjadi PERSOALAN NEGARA saat ini. Apa itu???

Tuan Presiden, ini dia cara bijak seorang pemimpin seperti Anda dalam “membela diri” saat ini:
1. Perbaiki kondisi ekonomi yang saat ini hanya lebih banyak dinikmati oleh kalangan tertentu;
2. Perkuat nilai Rupiah yang saat ini dipandang sudah menjadi “sampah” sebagai mata uang oleh negara-negara besar berekonomi mapan;
3. Hentikan kegemaran menambah utang negara yang jumlahnya kini sudah menggunung;
4. Segera benahi defisit keuangan negara yang terjadi saat ini;
5. Bersihkan negara dari segala bentuk kegiatan korupsi dan perampokan uang negara;
6. Kembalikan fungsi MPR-RI menjadi lembaga TERTINGGI negara; dan
7. Bersihkan “seluruh kotoran” yang ada di dalam tubuh partai Anda.

Tuan Presiden, jika Anda mampu melakukan cara bijak dan mewujudkan seluruh harapan di atas, maka itulah yang akan “membela” Anda. Layaknya seorang manusia ketika ingin dimasukkan ke dalam Neraka, ia bisa masuk ke Surga karena di selamatkan dan “dibela” oleh tugas yang telah ditunaikannya sebagai manusia semasa hidup.

Sederhananya, jika Tuan Presiden bisa melakukan tugas-tugas dan mempersembahkan hasil dengan baik seperti yang saya urut-urutkan di atas, maka rakyat tentu tidak akan percaya kepada orang-orang yang ingin menjatuhkan Anda, dan bahkan rakyat akan membela Anda mati-matian. Tetapi sebaliknya, jika Anda belum mampu menunaikan tugas-tugas Anda sebagai seorang Presiden, maka rakyat akan mudah percaya bahwa memang Anda seorang pecundang yang berhasil jadi Presiden.

Sehingga itu, sekali lagi, sebaiknya Anda secara bijak segera introspeksi dan melakukan perbaikan diri sebagai seorang Presiden. Sebab, Anda hanya bisa disebut sebagai Presiden HEBAT jika bisa menunaikan tugas dan mempersembahkan hasilnya kepada rakyat dengan baik. Dan sekali lagi, Anda sebagai Presiden tidak akan pernah dibilang hebat jika hanya memenangi “perkara” melawan rakyat.

TUAN PRESIDEN, MOHON MAAF DAN SALAM DAMAI DEMI PERUBAHAN DI NEGERI INI…!!!
-------------
*Sumber: Kompasiana

Selasa, 31 Desember 2013

KPK pun Cium Aroma Suap Hasil Pilgub Jatim 2013

Kategori: Artikel*
[RR1online]:
SAAT ditangkap tangan oleh KPK, Akil Mochtar (AM) masih menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), dan saat itu proses sengketa Pilgub Jatim juga masih sempat ditangani AM. Meski memang pada saat pembacaan putusan tidak lagi dilakukan oleh AM, tetapi proses pembuatan putusan Pilgub Jatim tersebut diyakini masih merupakan hasil “kerajinan tangan” AM.

Sehingga untuk menelusuri seluruh hasil “jarahan” Akil Mochtar yang memenangkan pemberi suap pada setiap sengketa Pilkada, KPK akhirnya cukup jeli melihat kemungkinan suap yang juga dilakukan oleh pasangan incumbent, Karsa= Soekarwo – Saifullah Yusuf.

Ya, setelah dugaan suap penanganan sengketa Pilkada Lebak, Banten dan Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, lembaga pimpinan Abraham Samad itu terus mengendus dugaan suap di semua sengketa Pilkada di daerah lainnya, termasuk Pilgub Jatim 2013.

Selasa (31/12/2013), Ketua KPU Jatim Andry Dewanto Ahmad akhirnya diperiksa oleh penyidik KPK di Gedung KPK, Jakarta.

Priharsa Nugraha selaku Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi membenarkan penyidik KPK yang tangani kasus Akil Mochtar hari ini (Selasa 31/12/2013) memeriksa Ketua KPU Jatim sebagai saksi dari pengembangan yang dilakukan oleh penyidik atas tersangka Akil Mochtar.

“Ya, Ketua KPU Jatim diperiksa sebagai saksi untuk tersangka AM,” ujar Priharsa singkat menjawab pertanyaan sejumlah awak media.

MK saat dipimpin Akil Mochtar memang sangat patut diduga juga telah memenangkan pasangan Karsa melalui suap. Kenapa..?

Sebab, pasangan Karsa adalah pasangan incumbent yang disebut-sebut sangat gampang menyediakan uang miliaran rupiah demi memenangkan kembali pertarungan Pilgub Jatim. Ini terungkap dalam Rapimnas Partai Kedaulatan, 15-17 Juni 2013.

Sebagai salah satu pimpinan Partai Kedaulatan di daerah, saya bersama para peserta Rapimnas mendengar, bahwa Sekjen kami di Partai Kedaulatan telah menerima uang panjar dari jumlah miliaran yang akan disediakan oleh pasangan Karsa tanpa sepengetahuan Ketua Umum Partai Kedaulatan.

Rapimnas kemudian sepakat untuk memecat Sekjen, dan menggantikannya dengan Sekjen yang baru. Lalu memutuskan untuk tetap mendukung pasangan Khofifah-Herman.
Dari Rapimnas itulah Pasangan Karsa terungkap siap menggelontorkan uang miliaran rupiah asalkan Partai Kedaulatan bisa ikut bergabung sebagai parpol koalisi. Selain itu, sekaligus juga besar dugaan adalah demi menghambat lolosnya pasangan Khofifah-Herman untuk maju dalam Pilgub Jatim 2013.

Dugaan adanya upaya untuk menghambat pasangan Khofifah-Herman nyaris berhasil dilakukan pasangan Karsa, boleh jadi juga dari hasil kongkalikong dengan KPU Jatim. Yakni dalam pleno, KPU jatim memutuskan pasangan Khofifah-Herman TIDAK MEMENUHI SYARAT untuk maju dalam Pilgub.

Pasangan Khofifah-Herman pun mencari keadilan demokrasi di negeri ini. Melalui persidangan di DKPP, Khofifah-Herman akhirnya diputuskan sah dan berhak untuk juga ikut sebagai peserta Pilkada Jatim 2013.

Olehnya itu, jika KPK kemudian juga mencium adanya aroma kecurangan yang diduga dilakukan oleh pasangan Karsa pada proses sengketa di MK, maka itu tidak keliru. Jempol buat KPK..!!!! Sebab, dalam perjalanannya, pasangan Karsa memang telah memperlihatkan gelagak takut kalah dari lawan terkuatnya sejak Pilgub Jatim sebelumnya, yakni pasangan Khofifah-Herman.

Kita tunggu hasil penciuman KPK itu secara nyata demi kebenaran dan keadilan, serta untuk kemajuan berdemokrasi secara sehat di negeri ini. Sekali lagi, dua jempol buat KPK…!!!
---------
*Sumber: Kompasiana