Selasa, 28 Januari 2014

Rakyat juga Bisa Somasi Presiden yang Dinilai Lalai dalam Tugas atau Ingkar dari Janji

[RR1online]:
DALAM doktrin dan yurisprudensi, istilah somasi juga digunakan untuk menyebut suatu perintah atau peringatan (surat teguran). Sehingga somasi dalam prakteknya dapat dipakai sebagai proses awal ke perkara perdata maupun pidana.

Namun pada hakikatnya, somasi sesungguhnya lebih tepat digunakan ketika terjadi sebuah “kelalaian” yang dinilai dilakukan oleh seseorang terhadap pihak lainnya (lihat pasal 1238 KUHPerdata). Misalnya, antara kreditur dan debitur yang di dalamnya telah menjalin sebuah “perjanjian”.

Menghubungkan somasi yang telah dilakukan SBY melalui pengacarnya kepada 3 warga negara (rakyatnya), kemudian jika menggarisbawahi istilah “kelalaian” yang tersirat dalam pasal 1238 KUHPerdata tersebut, maka sepertinya yang lebih tepat melakukan somasi itu adalah rakyat terhadap kepala negara (maupun kepala daerah) yang dinilai lalai dalam tugas, atau karena dianggap telah ingkar dari janji-janji yang telah diucapkannya sendiri. Bukan malah sebaliknya…!?!

Masih ingat dengan janji-janji kampanye SBY-Boediono pada Pilpres 2009 silam? Ini dia janji-janjinya :

1. Pertumbuhan ekonomi minimal 7 persen sehingga kesejahteraan rakyat meningkat.

2. Kemiskinan harus turun 8-10 persen dengan meningkatkan pembangunan pertanian, pedesaan dan program pro rakyat.

3. Pengangguran turun 5-6 persen dengan cara meningkatkan peluang lapangan pekerjaan dan peningkatan penyaluran modal usaha.

4. Pendidikan harus ditingkatkan lagi. Mutu infrastruktur dan kesejahteraan guru dan dosen ditingkatkan. Persamaan perlakuan sekolah negeri-swasta-agama. Tetap melanjutkan sekolah gratis bagi yang tidak mampu.

5. Masalah kesehatan dengan terus melakukan pemberantasan penyakit menular dan melanjutkan pengobatan gratis bagi yang tidak mampu.

6. Swasembada Beras dipertahankan. Ke depannya Indonesia akan menuju swasembada daging sapi dan kedelai.

7. Penambahan Energi daya listrik secara nasional. Kecukupan BBM dan pengembangan energi terbarukan.

8. Pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia. Mulai dari perhubungan, pekerjaan umum, air bersih, TI, maupun pertanian.

9. Peningkatan pembangunan rumah rakyat seperti proyek rusun murah untuk buruh, TNI/ Polri, dan rakyat kecil.

10. Pemeliharaan lingkungan terus ditingkatkan seperti dengan reboisasi lahan.

11. Kemampuan pertahanan dan keamanan terus ditingkatkan seperti pengadaan dan modernisasi alustsista TNI/ Polri.

12. Reformasi birokrasi, PEMBERANTASAN KORUPSI terus ditingkatkan.

13. Otonomi daerah dan pemerataan daerah ditingkatkan.

14. Demokrasi dan penghormatan terhadap HAM makin ditingkatkan. Jangan terjadi lagi pelanggaran HAM berat di negeri ini.

15. Peran Indonesia makin ditingkatkan di dunia internasional. Berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dunia.

Nah, saya tak perlu mengurai satu-satu dari setiap janji-janji tersebut di atas, apakah sudah tercapai atau tidak??? Silakan direfleksikan sendiri sesuai dengan kondisi saat ini secara objektif! Misalnya, tentang kondisi ekonomi kita yang saat ini masih terpuruk, nilai rupiah anjlok, defisit keuangan negara yang terus membengkak, utang luar negeri yang terus mendaki, ketergantungan kepada barang kebutuhan impor, harga-harga pemenuhan dan kebutuhan biaya hidup yang makin mahal, serta lain sebagainya. Dan itu baru di bidang ekonomi, belum di bidang-bidang lainnya.

Janji-janji tersebut di atas juga sebetulnya secara “terakumulasi” dan secara tidak langsung telah ikut terucap pada saat pengambilan serta pengucapan sumpah dan janji SBY saat dilantik sebagai presiden. Dan UUD 1945 pasal 9 ayat 1 adalah dapat ditunjuk sebagai “perikatan”-nya ( yakni perikatan seperti yang disebutkan dalam pasal 1238 KUHPerdata).

Dalam konteks ini, tanpa lari dari pokok pikiran artikel ini, saya coba menggunakan pendekatan peribaratan “debitur dan kreditur” seperti yang disebutkan dalam 1238 KUHPerdata dalam memaknai sebuah somasi.

Bahwa dalam hal ini, yang bertindak ibarat “debiturnya” adalah SBY-Boediono yang telah diberi amanah sebagai presiden dan wakil presiden oleh rakyat (artinya, rakyat di sini adalah krediturnya).

Selanjutnya, dalam pasal 1243 KUHPerdata diatur adanya tuntutan atas “wanprestasi suatu perjanjian” hanya dapat dilakukan apabila “Si Debitur” telah diberi peringatan bahwa ia melalaikan kewajibannya, namun kemudian ia tetap melalaikannya. Dan peringatan secara tertulis itulah yang kemudian kita kenal sebagai somasi. Jadi dalam pengibaratan ini, somasi berfungsi sebagai peringatan dari kreditur kepada debitur untuk melaksanakan prestasi (kewajibannya).

Wanprestasi dapat berupa: (1) tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan; (2) melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya; (3) melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat; atau (4) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian atau meminta ganti kerugian pada pihak yang melakukan wanprestasi. Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian yang timbul sebagai akibat adanya wanprestasi tersebut, serta bunga. Wanprestasi ini merupakan bidang hukum perdata.

Sejauh ini, tidak ada pengaturan dalam hukum acara perdata mengenai siapa yang dapat mengeluarkan somasi. Ini artinya, siapa saja boleh, asalkan memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum dengan mengeluarkan somasi kepada counterpart-nya atas tidak tercapainya “perjanjian” akibat melalaikan kewajibannya.

Demikian beberapa paragraf di atas sebagai penggambaran pengibaratan dengan penempatkan presiden sebagai pihak debitur, dan rakyat adalah krediturnya.

Jika demikian, kemungkinan besar pihak Rizal Ramli (atau mungkin pihak Sri Mulyono dan Fahri Hamzah) akan melakukan somasi balik, yakni dengan “materi somasi (teguran)”, misalnya: bisa seputar janji-janji SBY saat kampanye tersebut, juga bisa mengenai pelanggaran HAM atau bahkan tetap pada seputar kasus dugaan korupsi itu sendiri. (Lihat nomor 12 dan 14 dari janji-janji kampanye SBY di atas)

Dan nampaknya, somasi balik tersebut akan dilakukan oleh Rizal Ramli selaku Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARuP), tentu saja melalui Tim Hukum yang telah dibentuknya, yakni bernama: “Tim Pengawal Demokrasi dan Kebebasan Berpendapat”.

Secara logika memang tak elok jika seorang presiden yang “diangkat” (diberi amanah) oleh rakyat, digaji dan dijamin hidupnya sebagai presiden dari uang rakyat, tetapi kemudian rakyat disomasi atas nama pribadi (bukan dalam jabatannya sebagai presiden).

Lalu apakah SBY sudah memikirkan matang-matang dengan secara rasional tentang apa manfaat dan dampak buruk yang ditimbulkannya sebelum melayangkan somasi? Sebab, sepertinya akan sangat terasa aneh jika SBY nantinya memunculkan sebuah ungkapan (misalnya) sebuah alasan bahwa somasi itu adalah bermanfaat buat rakyat. Padahal diketahui bahwa:

1. Somasi tersebut diakui oleh kalangan istana sebagai atas nama PRIBADI SBY; dan
2. Somasi tersebut dilayang di saat masalah-masalah negara masih terlalu banyak yang belum terselesaikan.

Nah, silakan dibayangkan sendiri-sendiri, bahwa ketika ketiga-tiganya menyatakan siap melakukan somasi balik, maka itu artinya bahwa sisa-sisa waktu SBY sebagai Presiden hanya dihabiskan untuk membela diri dan keluarganya sendiri, bukan untuk rakyat yang jadi tanggungjawabnya.

Semoga bisa menjadi bahan renungan…!!!
----------------
Sumber: KOMPASIANA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar